Beranda Asosiasi Pertambangan Produksi Nikel RI Semester I 2025 Over Supply, APNI Soroti Dampaknya terhadap...

Produksi Nikel RI Semester I 2025 Over Supply, APNI Soroti Dampaknya terhadap Harga Global

1077
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey, 1 Juli 2025

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menilai produksi nikel Indonesia pada semester I 2025 mengalami kelebihan suplai yang signifikan. Kondisi ini berdampak pada tekanan harga global dan menciptakan sentimen negatif terhadap pasar nikel dunia.

Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyampaikan evaluasi kinerja produksi Januari–Mei 2025 sekaligus proyeksi semester II dan perencanaan nasional tahun 2026 dalam paparan terbaru di Jakarta.

“Kondisi suplai kita saat ini agak over, bahkan bisa dibilang berlebihan. Ini sudah terjadi sejak 2023. Kelebihan produksi Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 500 kiloton,” ujar Meidy dalam pemaparan data industri, yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara melalui zoom,  Selasa (1/7/2025).

Ia menambahkan, tekanan terhadap harga nikel semakin terasa akibat ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan, terutama di pasar global.

Dalam evaluasi semester I 2025, dia menjelaskan bahwa produksi nikel Indonesia dalam lima bulan pertama tahun ini mengalami surplus signifikan, terutama pada produk seperti Nikel Pig Iron (NPI), feronikel, dan nikel sulfat. Surplus ini berdampak langsung pada harga dan dinamika pasar global. Berdasarkan data terbaru dari Shanghai Metals Market (SMM) dan Macquarie, harga nikel sulfat mengalami penurunan tajam sejak 25 Mei hingga 26 Juni 2025.

“Penurunan harga nikel sulfat cukup drastis, sementara harga nikel murni relatif stabil dan NPI sedikit naik. Tapi fluktuasi ini berdampak besar terhadap proyeksi perusahaan, terutama sektor smelter,” jelasnya.

Meidy juga menyebutkan adanya keterlambatan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), cuaca buruk, serta tekanan dari organisasi lingkungan seperti Greenpeace sebagai faktor yang memengaruhi volume produksi nasional.

Dalam paparannya, mengenai proyeksi semester II 2025, menurutnya semester II diproyeksikan akan menghadapi tantangan serupa, terutama karena pasokan global yang masih tinggi.

“Inventori nikel murni global, khususnya di Tiongkok seperti di pelabuhan Jiangsu dan Guangdong, terus meningkat. Sementara permintaan dari kawasan Asia, Eropa, dan Amerika Utara justru menurun,” ungkapnya.

Indonesia tetap menjadi penyumbang terbesar untuk suplai global, menjadikan negara ini sorotan utama pasar nikel internasional.

Dia menegaskan, terkait perencanaan produksi nasional 2026, dimana APNI tengah mendorong pemerintah, khususnya Kementerian ESDM dan Ditjen Minerba, untuk merevisi formula Harga Patokan Mineral (HPM) serta indeks harga mineral acuan. Revisi ini dinilai penting agar kebijakan domestik bisa lebih selaras dengan dinamika pasar global.

“Perlu ada penyesuaian harga acuan agar sesuai dengan kondisi pasar dunia. Ini penting untuk menjaga keberlanjutan industri, terutama saat fluktuasi harga sangat tajam seperti sekarang,” tegasnya

Selain itu, dia mengatakan, tantangan impor bijih nikel yang meskipun Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar dunia, kebutuhan impor bijih nikel dari Filipina tetap tinggi.

“Impor bukan karena kekurangan cadangan, tapi karena kualitas bijih yang dibutuhkan oleh smelter. Kandungan silika dan magnesium di Filipina lebih tinggi, sehingga dibutuhkan untuk proses blending,” katanya.

Selama Januari–Juni 2025, lebih dari 2 juta ton bijih nikel diimpor ke Indonesia. Selain karena kebutuhan teknis, keterlambatan pengiriman kapal akibat cuaca juga memengaruhi volume dan kecepatan pasokan.

Meidy menuturkan mengenai arah ekspor dan diversifikasi pasar yang yang sementara ini China masih menjadi tujuan ekspor utama, Indonesia mulai memperluas pasar ke Jepang, Korea Utara, Eropa, dan kawasan lainnya. Produk ekspor meliputi nikel matte, Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), nikel sulfat, hingga nikel murni.

Dia juga menekankan pentingnya strategi ekspor yang mempertimbangkan harga jual antarnegara.

“Perbandingan harga antara ekspor ke China, Jepang, hingga Eropa perlu jadi perhatian agar Indonesia bisa mendapat nilai optimal,” ujarnya.

APNI menilai perlunya penguatan hilirisasi dan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ekspor dan produksi nasional agar industri nikel tetap kompetitif dan berkelanjutan di tengah tekanan global. (Shiddiq)