Beranda Asosiasi Pertambangan Tobias Maya: Indonesia, Pemain Kunci dalam Rantai Pasok Global Mineral Kritis

Tobias Maya: Indonesia, Pemain Kunci dalam Rantai Pasok Global Mineral Kritis

603
0
Presdir PT Geo Search Tobias Maya usai memaparkan Materi ICM 2025 Pullman Hotel, Jakarta Selasa-Kamis (3-5/6/2025).

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Indonesia diproyeksikan menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global mineral kritis untuk mendukung transisi energi bersih dunia menuju target net-zero emissions 2050.  Dominasi dalam produksi nikel dan kobalt menempatkan Indonesia sebagai negara strategis dalam ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan teknologi bersih global.

“Indonesia saat ini menyumbang lebih dari 60% produksi nikel dunia dan sekitar 10% pasokan kobalt global, yang merupakan elemen kunci dalam produksi baterai litium-ion. Ini menempatkan Indonesia di pusat pergeseran global menuju energi terbarukan,” ungkap Tobias Maya, Presiden Direktut PT Geo Search.

Dominasi Indonesia, lanjutnya, di pasar logam kritis berada di peringkat 1 dunia untuk produksi nikel: 2,2 juta ton/tahun. Peringkat 2 dunia untuk produksi kobalt: 28 ribu ton/tahun. Peringkat 5 untuk tembaga: 1,1 juta ton/tahun. Peringkat 5 untuk bijih bauksit: 21 juta ton/tahun. Potensi mangan: 190 juta ton, menjadikannya kandidat kuat masuk 10 besar global.

Permintaan logam meningkat untuk energi bersih. Kebutuhan global akan logam kritis meningkat tajam seiring target dekarbonisasi. Untuk satu generasi unit teknologi bebas bahan bakar fosil, kebutuhan logam diperkirakan: grafit (alami dan sintetis): 54,6% dari total atau hampir 9 miliar ton. tembaga : 27,8%. nikel: 5,7%. Litium: 6,0%. Kobalt: 1,3%. Vanadium, silikon, dan lainnya menyusul dengan proporsi lebih kecil namun penting secara strategis.

Tobias Maya menjelaskan hal tersebut dalam presentasinya “Southeast Asia’s Mining Ascendancy: Indonesia at the Forefront of Global Critical Minerals Development for Renewable Energy Goals” pada Indonesia Critical Minerals Conference & Expo 2025, yang diselenggarakan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) bekerja sama dengan Shanghai Metals Market (SMM), di Hotel Pullman Jakarta Central Park, di Tanjung Duren, Jakarta Barat, 3-5 Juni 2025.

Namun, menurut Tobias, dengan tingkat produksi saat ini (data 2019), dibutuhkan ratusan hingga ribuan tahun untuk memenuhi permintaan satu generasi teknologi bebas emisi, misalnya kobalt butuh waktu 1.733 tahun dan litium butuh waktu 9.920 tahun.

Strategi Indonesia menangkap peluang itu, menurutnya, didukung Free Trade Agreement (FTA) dengan Australia. Indonesia mengamankan pasokan litium 60.000-120.000 ton per tahun untuk kebutuhan industri kendaraan listrik (EV). Produsen otomotif global, seperti Ford, Hyundai, LG, dan Tesla, telah menanamkan investasi besar untuk mendirikan fasilitas baterai dan EV di Indonesia.

Kebijakan pemerintah yang pro-investasi, biaya produksi yang kompetitif, serta pertumbuhan ekonomi yang solid memperkuat daya tarik Indonesia di mata investor global.

Alumni Charles Sturt University in NSW, Australia, yang sejak 2004 telah bekerja penuh waktu di industri eksplorasi batu bara dan mineral Indonesia itu menuturkan bahwa momentum 2025 sebagai titik balik. Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah tetapi juga mulai membangun rantai pasok industri hilir dari tambang ke baterai hingga kendaraan listrik. Hal ini diperkuat oleh kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor bahan mentah.

“Indonesia tengah mengalami transformasi besar dalam sektor mineral, menjadikannya pilar utama transisi energi global. Dukungan regulasi, kolaborasi internasional, dan kekayaan sumber daya alam menjadikan negeri ini sebagai poros baru industri logam kritis dunia. Ini bukan sekadar peluang ekonomi, tapi juga tanggung jawab strategis Indonesia untuk masa depan planet yang lebih bersih,” tutupnya. (Shiddiq/R)