
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) akan menggelar Environment, social, and governance (ESG) Forum 2025. Kegiatan bertajuk ‘Advancing Sustainable Nickel’ ini akan berlangsung di Hotel Sultan Jakarta, pada tanggal 2 Juni 2025 mendatang.
Forum ini rencananya akan membuat penyusunan standar ESG yang sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia. Fokusnya lebih kepada menyelaraskan standar ESG Indonesia dengan tuntutan pasar global dan transisi energi hijau. Forum juga didukung oleh Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Dewan Ekonomi Nasional (DEN), dan Bappenas
Hal ini merupakan tonggak penting dalam tata kelola investasi dan pembangunan berkelanjutan dengan merancang standar ESG nasional.
Langkah strategis ini bertujuan mengurangi ketergantungan terhadap standar ESG internasional yang selama ini menjadi acuan utama, namun dinilai belum mencerminkan kompleksitas dan karakteristik khas Indonesia.
Forum ini lebih memfokuskan kepada penyelarasan standar ESG Indonesia dengan tuntutan pasar global dan transisi energi hijau. Forum juga didukung oleh Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Dewan Ekonomi Nasional (DEN), dan Bappenas
Mengapa Perlu Standar ESG Nasional?
Standar ESG internasional seperti GRI, SASB, TCFD, dan IRMA selama ini digunakan oleh perusahaan di Indonesia untuk menyusun laporan keberlanjutan dan menarik pembiayaan dari pasar global. Namun, banyak kalangan menilai bahwa standar-standar tersebut tidak selalu relevan dengan tantangan domestik.
Dalam aspek lingkungan, misalnya, tekanan global pada pengurangan emisi karbon seringkali mengesampingkan persoalan khas Indonesia seperti deforestasi, degradasi lahan gambut, dan konflik agraria. Dari sisi sosial, masyarakat adat, buruh sektor ekstraktif, dan ketimpangan wilayah membutuhkan pendekatan ESG yang lebih adil dan kontekstual.
“Standar ESG global disusun dari perspektif negara maju yang struktur industrinya sudah mapan. Tapi kami di sini menghadapi medan berbeda—baik geologis, sosial, maupun politik,” tegas Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) dalam program “Cakap-Cakap” yang disiarkan di kanal YouTube Tempodotco, Senin (12/5/2025).
Rencana Penyusunan Standar ESG
Pembentukan standar ESG nasional harus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, mulai dari pemerintah maupun pengusaha tambang dan asosiasi atau organisasi. Pembentukan panitia perumusan standar ESG Indonesia dibutuhkan untuk merumuskan kerangka yang tepat dan efektif dan berkeadilan. Dari panitia tersebut nanti membentuk sebuah tim untuk melaksanakan tahapan-tahapan yang menghasilkan standar ESG.
Seperti:
1. Studi Banding dan Analisis Kesenjangan
Pemerintah akan menganalisis standar ESG global dan menyesuaikannya dengan kebutuhan domestik, memastikan tidak ada indikator yang bertentangan dengan realitas nasional.
2. Konsultasi Multistakeholder
Pelibatan dunia usaha, organisasi masyarakat sipil, akademisi, serta masyarakat adat menjadi elemen kunci dalam menyusun standar yang inklusif dan dapat diterima luas.
3. Penyusunan Kerangka Regulasi
Standar ESG nasional akan diintegrasikan ke dalam kerangka perizinan investasi, pelaporan keberlanjutan, dan regulasi sektor lingkungan dan sumber daya alam.
4. Uji Publik dan Pilot Project
Sebelum implementasi penuh, standar akan diuji coba pada perusahaan BUMN dan swasta di sektor strategis seperti pertambangan, energi, dan perkebunan.
5. Implementasi Bertahap
Setelah uji coba, standar akan diterapkan secara bertahap dan dijadikan komponen wajib dalam laporan keberlanjutan perusahaan.

Tantangan Implementasi
Salah satu tantangan besar adalah resistensi dari industri yang selama ini sudah terbebani dengan lebih dari 200 izin lintas sektoral.
“Kita sudah repot dengan perizinan yang tidak sinkron. Sekarang diminta patuh pada ESG dari luar negeri yang belum tentu cocok dengan kita,” sebut Meidy.
Ada pula persoalan harmonisasi dengan pasar global. Terutama menjelang 2027, ketika pasar Uni Eropa akan mewajibkan Battery Passport, yakni sertifikasi ESG untuk seluruh produk nikel yang masuk ke kawasan tersebut.
“Ini artinya kita harus patuh standar mereka, tapi mereka tidak ikut patuh pada realitas kita. Kalau kamu nuntut saya bersih, kamu juga harus bersih. Jangan minta kami tinggalkan batubara, sementara kalian masih menggunakannya,” sindir Meidy.
Peluang dan Posisi Tawar Indonesia
Meski penuh tantangan, penyusunan standar ESG nasional membuka peluang strategis bagi Indonesia untuk menegaskan posisi tawar di pasar global, terutama sebagai pemasok utama nikel, bauksit, dan batu bara—komoditas yang sangat penting dalam transisi energi global.
Indonesia, bersama 30 negara penghasil mineral lainnya, kini juga tengah menyusun kerangka standar ESG global alternatif yang lebih inklusif dan relevan dengan realitas negara-negara berkembang.
Sementara pandangan dari Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Tri Edi Budi Susilo menegaskan pentingnya pendekatan kontekstual dalam penyusunan standar.
“ESG itu penting, tapi harus adil. Keadilan ekologis adalah ketika standar dibentuk bersama, bukan sepihak,” ujarnya dalam acara yang sama.
Menuju Kedaulatan ESG
Langkah Indonesia untuk menyusun standar ESG nasional bukanlah bentuk penolakan terhadap prinsip keberlanjutan global, melainkan upaya untuk mengisi kesenjangan antara prinsip universal dan realitas lokal. Standar ini diharapkan menjadi jembatan antara kepentingan pembangunan nasional dan tuntutan pasar global.
Dengan standar ESG yang dirancang berdasarkan nilai keadilan, kearifan lokal, dan keberlanjutan ilmiah, Indonesia tidak hanya memperkuat tata kelola industri ekstraktif dan investasi, tetapi juga memperjuangkan kedaulatan ekologis dan ekonomi di tengah arus globalisasi yang kerap timpang. (Shiddiq)