Beranda Berita Nasional Gubernur Malut Usulkan Pajak Air Permukaan untuk Perusahaan Tambang dan Smelter

Gubernur Malut Usulkan Pajak Air Permukaan untuk Perusahaan Tambang dan Smelter

1362
0

NIKEL.CO.ID, JAKARTA Gubernur Maluku Utara (Malut), Sherly Tjoandra, menyampaikan usulan strategis untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menggali potensi pajak air permukaan dari perusahaan smelter tambang nikel yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) maupun smelter.

Dalam pernyataannya yang disampaikan melalui kanal YouTube Nusantara TV pada 30 April 2025, Sherly menegaskan bahwa saat ini hampir 100% Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Malut habis untuk belanja pegawai. Sementara PAD masih terbatas dan sebagian besar tergantung dari Dana Bagi Hasil (DBH) pemerintah pusat.

“Kita tidak bisa memetakan berapa sebenarnya potensi dari pajak air permukaan. Karena itu, kami mengusulkan agar dibuatkan peraturan atau rasio baru untuk menghitung potensi tersebut berdasarkan total output dari izin usaha pertambangan (IUP) dan smelter,” jelas Sherly dalam tayangan tersebut, ditulis, Jumat (16/5/2025).

Menurutnya, pemanfaatan air dalam proses produksi industri tambang dan smelter bisa menjadi basis pengenaan pajak yang lebih adil dan terukur. Ia memberikan ilustrasi bahwa jika output produksi mencapai jutaan ton, maka bisa dihitung rasio penggunaannya terhadap air permukaan, dikalikan dengan nilai rupiah sebagai dasar pengenaan pajak.

“Inilah yang menjadi potensi pajak air permukaan. Kita perlu tahu sebenarnya berapa nilai hak pemerintah daerah yang seharusnya diterima. Selama ini, kita hanya bilang ada potensi loss, tapi kita tidak tahu nilainya secara pasti,” tambahnya.

Lebih jauh, Sherly menyoroti ketimpangan dalam akses data antara pemerintah pusat dan daerah. Ia menyebutkan bahwa data alat berat dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) perusahaan tambang tidak diterima oleh Pemprov Malut. Padahal, data tersebut sangat krusial untuk menghitung Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor tambang.

“Di lapangan, kita kesulitan mendapatkan data seberapa banyak alat berat yang digunakan karena semua datanya melalui Kementerian ESDM. Provinsi tidak diberikan akses atau tembusan,” tegasnya.

Dia juga menyoroti bahwa meskipun berdasarkan aturan seharusnya ada tembusan RKAB kepada Gubernur, namun dalam praktiknya Pemprov Malut tidak menerima dokumen tersebut.

“Ketika kita meminta pun, bingung mencarinya ke mana. Mungkin di provinsi lain bisa mendapatkannya, tapi di Malut tidak. Mungkin juga ini karena kelalaian ASN kami sebelumnya,” ujarnya terbuka.

Dalam perspektif makro, ia menyampaikan kekhawatirannya tentang ketergantungan daerah terhadap eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang suatu saat akan habis. Ia mencontohkan kasus negara Nauru di Pasifik yang pernah kaya karena fosfat, namun kini miskin karena salah urus SDA.

“Kami tidak ingin Malut menjadi seperti Nauru. Sumber daya nikel kami harus menjadi leverage untuk membangun ekonomi berkelanjutan. Kalau SDA habis 20 tahun lagi, apa yang akan kita wariskan selain kerusakan lingkungan?” tegasnya.

Sherly mengkritisi kondisi saat ini di mana pertumbuhan ekonomi Malut secara statistik memang mencapai dua digit akibat industri nikel, namun dampaknya tidak merata. Inflasi di wilayah tambang meningkat, jalan rusak, pendidikan dan layanan kesehatan tidak memadai.

“Faktanya, setelah 10-15 tahun industri nikel berjalan, kesejahteraan masyarakat menjadi zero sum. Tidak ada jalan layak, pendidikan berkualitas, maupun fasilitas kesehatan yang memadai,” tuturnya prihatin.

Sebagai penutup, Gubernur Sherly menyerukan agar pemerintah pusat memberikan perhatian dan dukungan regulasi yang adil bagi daerah. Ia berharap ada kompensasi ekonomi yang layak bagi Malut.

“Kami hanya ingin Malut mendapatkan kompensasi yang setara. Jalan, jembatan, pendidikan, dan kesehatan yang layak. Jadi, kalau 10 atau 20 tahun lagi SDA habis, kami sudah punya ekonomi alternatif di sektor pertanian dan perikanan dengan skala ekonomi yang cukup besar,” pungkasnya. (Shiddiq)