NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Isu kelestarian lingkungan, khususnya terkait pengelolaan air dalam industri pertambangan nikel, kembali mencuat sebagai topik penting dalam diskusi publik. Dalam program “Cakap-Cakap” yang disiarkan di kanal YouTube Tempodotco itu pembawa acara Deayujihan menggali lebih dalam tentang tantangan dan peluang menuju industri tambang nikel yang berkelanjutan, melalui perspektif pelaku industri dan pakar lingkungan.
Episode berjudul “Krisis Air Bersih dan Tambang Nikel: Mencari Titik Temu Industri Tambang Berkelanjutan” ini menghadirkan Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, dan dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Tri Edi Budi Susilo.
Meidy Katrin Lengkey menjelaskan mengenai ledakan industri nikel dan bayangan Dirty Nickel bahwa pasca-berlakunya larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 melalui Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan batu Bara dalam Pasal 103 dan 104 dan kebijakan hilirisasi, industri nikel Indonesia tumbuh secara agresif. Dalam waktu singkat, Indonesia menjadi salah satu pusat produksi nikel terbesar dunia.

“Hari ini kita memiliki 55 pabrik pengolahan nikel yang aktif, terdiri dari 49 pirometalurgi dan 6 hidrometalurgi. Selain itu, 36 pabrik sedang dalam tahap konstruksi,” ungkapnya dalam tayangan tersebut, Senin (12/5/2025).
“Sejak 2023, Indonesia telah menguasai sekitar 63% pangsa pasar global. Ini lompatan besar,” tuturnya seraya mencoba menyadarkan publik bahwa begitu berperannya negara ini dalam rantai pasok dunia.
Namun, keberhasilan tersebut tidak lepas dari kritik tajam, khususnya terkait isu lingkungan. Sekum APNI ini menyinggung label-label seperti dirty nickel dan bloody nickel yang dialamatkan kepada produk nikel Indonesia oleh media dan kelompok tertentu di luar negeri.

“Kami ini baru lima tahun membangun industri ini. Ibarat anak TK, tapi sudah disuruh lari,” katanya dengan perumpamaan yang menggelitik.
Sementara itu, Tri Edi Budi Susilo menekankan bahwa dampak lingkungan tidak bisa dilepaskan dari skala operasi tambang.
“Kalau kita bangun rumah pun awalnya merusak. Tapi setelah itu dirawat. Bedanya, kalau rumah cuma seratus meter, tambang bisa ribuan hektare. Masalahnya bukan sekadar rusak, tapi bagaimana dikelola dampaknya,” ujar Budi.
Ia menambahkan, dalam kondisi ekstrem, seperti curah hujan tinggi, bahkan teknologi canggih pun tak mampu sepenuhnya mencegah erosi dan luapan air.
“Begitu ada force majeure, ya pasti melimpah. Lalu jadi berita. Tapi serangan ke industri kadang ada muatan lain. Seperti kata orang, ada udang di balik rempeyek,” tukasnya. (Shiddiq/R)