Beranda Berita Nasional Pelaku Usaha Tambang Nikel Keluhkan Kenaikan Royalti: Sudah Banyak yang Merugi

Pelaku Usaha Tambang Nikel Keluhkan Kenaikan Royalti: Sudah Banyak yang Merugi

681
0
Rapat Koordinasi Minerba bersama APNI dan FINI, Gedung Minerba, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025). Dok. MNI. Foto by: Shiddiq

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey. menyampaikan keresahan pelaku usaha tambang terhadap kebijakan kenaikan royalti nikel. Dalam forum resmi bersama pemerintah, ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut telah memperburuk kondisi finansial sejumlah perusahaan tambang, bahkan sebelum implementasi resmi dilakukan.

Hal ini disampaikannya dalam acara rapat koordinasi antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Mineral dan Batubara Bara (Minerba) Kementerian ESDM, APNI dan FINI, dalam rangka menyampaikan masukan, saran dan kritik untuk rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) 26 Tahun 2022.

“Kami ingin menyampaikan secara formal bahwa kenaikan royalti ini sangat memperburuk kondisi kami. Sejak awal tahun 2025, beban dari pemerintah sudah cukup tinggi. Sekarang, dengan royalti yang belum juga diterapkan, beberapa anggota kami sudah mengalami kerugian, bahkan ada yang operasionalnya berhenti total,” ujar Sekum APNI dalam pertemuan tersebut di Gedung Sadazali ll, Lantai 5, Minerba, Jakarta Selatan, Kamis (17/4/2025).

Ia mengungkapkan bahwa bukan hanya pelaku tambang yang terdampak, tetapi juga perusahaan smelter.

“Kalau dari sisi smelter, kita lihat juga sudah banyak yang minus. Padahal implementasi kebijakan baru belum dilakukan. Tapi karena kondisi harga global yang terus menurun, sebagian anggota kami sudah mengalami defisit lebih dulu,” lanjutnya.

Dia menuturkan, kondisi harga nikel yang belum menunjukkan tanda pemulihan disebut menjadi penyebab utama. Meidy menegaskan bahwa saat ini industri sedang mengalami tekanan dari pasar global.

“Kami ini komunikasi terus dengan dunia luar. Bahkan beberapa investor holding dari luar negeri sudah bertemu dengan kami, mempertanyakan kondisi ini. Dua investor besar sudah menyatakan kekhawatiran mereka,” tuturnya.

Ia juga menyebut bahwa pihaknya telah menyampaikan permasalahan ini melalui surat resmi kepada berbagai pihak di pemerintah.

“Sudah kami kirim suratnya, termasuk ke Dirjen dan beberapa menteri terkait. Kami minta perhatian serius karena dampaknya langsung ke ekosistem industri nikel nasional,” ucapnya.

Dalam pernyataannya, Sekum APNI ini juga menyinggung ketidakjelasan implementasi Peraturan Pemerintah terbaru yang mengatur royalti nikel kadar rendah. Menurutnya, regulasi menyebutkan royalti 2% untuk bijih nikel kadar di bawah 1,5% yang diperuntukkan bagi bahan baku baterai listrik. Namun, di lapangan, implementasinya masih membingungkan.

“Di PP disebutkan royalti 2% untuk bijih nikel di bawah 1,5%, tapi kenyataannya kami tidak bisa mendeteksi dengan jelas mana yang untuk bahan baku baterai dan mana yang bukan. Ini jadi rancu,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa sebagian besar anggota APNI kini memproduksi nikel dengan kadar antara 1,6% hingga 1,9%, dan tidak ada lagi yang berada di atas 1,8% seperti sebelumnya. “Kondisi ini semakin membuat kebijakan jadi tidak sinkron dengan realitas lapangan.

”APNI berharap adanya kejelasan dan solusi dari pemerintah agar pelaku usaha tetap bisa bertahan di tengah tekanan pasar global. “Kami butuh solusi yang realistis. Kami sudah diskusi dengan LME, analis komoditas, dan lainnya. Harga ideal agar industri tetap jalan minimal di angka 17.000. Di bawah itu, kami kesulitan bertahan.

”Meidy menutup pernyataannya dengan dorongan agar pemerintah tidak hanya membuat kebijakan di atas kertas, tetapi memastikan implementasi di lapangan berjalan dengan adil dan mendukung keberlanjutan industri.

“Jangan sampai PP hanya sebatas teks hukum, tapi pelaksanaannya tidak menyentuh realita kami di lapangan,” pungkasnya. (Shiddiq)