
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mulai menerapkan kebijakan baru, yaitu tarif resiprokal bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Kebijakan Trump ini justru menimbulkan kekhawatiran pelaku usaha dan pengamat terhadap timbulnya penurunan permintaan global lantaran biaya tarif impor yang tinggi.

Dilansir melui laman Kontan, Senin (7/4/2025), Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menilai ekspor komoditas masih menjadi andalan pendapatan nasional dalam satu dekade terakhir.
Perang tarif antara AS dan negara lain jelas dapat mengguncang permintaan, terutama jika sektor industri global menjadi lemah lalu berdampak terhadap penurunan konsumsi listrik di negara-negara tujuan ekspor, seperti Tiongkok, India, Asia Tenggara, dan Asia Timur Jauh.

“Di tengah tekanan ekonomi sebagai imbas dari kebijakan tarif Presiden Trump, sepertinya kita mau tidak mau masih mengandalkan ekspor komoditas minerba dan sawit,” ungkap Hendra.
Namun, tambahnya, sektor ini akan terdampak juga jika kebutuhan energi di negara mitra menurun akibat perlambatan industri domestik mereka.
Kebijakan kontroversial dari Trump tersebut juga disoroti Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, yang menilai akan menimbulkan potensi kontraksi tajam pada komoditas utama ekspor Indonesia.

“Batu bara, minyak, sawit, nikel, dan produk tambang lainnya sangat mungkin mengalami penurunan permintaan, terutama ke China, apalagi setelah muncul tarif balasan atas produk-produk dari AS,” ujar Bhima.
Oleh karenanya. perusahaan-perusahaan komoditas berorientasi ekspor dihadapkan pada dua pilihan strategis: menurunkan margin dan memangkas produksi atau mulai mengalihkan komoditas ke pasar dalam negeri. Meski demikian, ada harapan untuk sejumlah produk tertentu.
“Ada peluang jika produk seperti tembaga dan nikel dikecualikan dari tarif resiprokal Trump. Pemerintah perlu memanfaatkan ini untuk mendorong ekspor olahan nikel, seperti NPI, feronikel, dan nikel matte, ke AS. Tapi syaratnya harus dipenuhi traceability, standar lingkungan, dan perlindungan tenaga kerja,” terangnya.
Sementara itu, dari sisi hukum dan regulasi, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, menilai, kebijakan tarif AS akan membuat harga beli komoditas Indonesia menjadi tidak kompetitif di pasar AS. Hal ini berpotensi memaksa pelaku usaha menurunkan harga jual atau kehilangan pasar.

“Kebijakan tarif impor akan berpengaruh pada semua perdagangan Indonesia ke AS, termasuk komoditas pertambangan dan sawit. Harga yang lebih tinggi akan membuat AS mencari alternatif komoditas lokal atau dari negara lain,” ungkapnya.
Bisman juga menekankan pentingnya diplomasi ekonomi. Pemerintah perlu mendorong negosiasi ulang atau melobi AS untuk mengamankan kepentingan ekspor Indonesia.
“Pelaku usaha harus bijak dan berpikir strategis. Komoditas seperti sawit masih sangat prospektif. Tapi kita juga perlu membuka pasar alternatif di Eropa, India, dan China untuk mengurangi ketergantungan pada AS,” tutur dia. (Lili Handayani)