Beranda Korporasi Pengamat: Pengurangan Kuota Bijih Nikel Dinilai Tidak Tepat

Pengamat: Pengurangan Kuota Bijih Nikel Dinilai Tidak Tepat

2787
0
Pengamat Energi Ekonomi UGM Fahmy Radhi

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Wacana pengurangan kuota bijih nikel oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM menjadi polemik yang diperbincangkan diberbagai media baru-baru ini. Isu ini menarik berbagai kalangan industri nikel termasuk para pengamat pertambangan yang lebih cenderung menyatakan bahwa wacana tersebut tidak tepat.

Hal ini ditanggapi oleh Pengamat Ekonomi dan Energi, Universitas Gadjah Mada, Fahmi Radhi yang menyatakan bahwa wacana atau kebijakan pengurangan kuota bijih nikel perusahaan tambang untuk industri smelter tidak tepat.

“Dengan adanya kuota pengurangan produksi bijih nikel terhadap perusahaan tambang disamping akan menyebabkan turunnya pendapatan dari penambang nikel, itu juga akan mengurangi kebutuhan smelter yang ada sehingga mereka impor,” ungkap Fahmy kepada nikel.co.id melalui percakapan telepon, Selasa (7/1/2025).

Menurutnya, impor tersebut akan menyebabkan kehilangan potensi pendapatan bagi Indonesia dan dengan alasan apapun termasuk untuk mencegah terjadinya oversupply agar bisa menaikkan harga nikel di pasaran juga tidak tepat. Karena perlu diingat bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara pemilik bahan mineral nikel, masih ada negara-negara lain.

“Kalau Indonesia mengurangi produksi bijih nikel dengan kuota tersebut tapi negara lain tetap mensupply atau menambah supply-nya maka akan tetap saja,” ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa cadangan nikel Indonesia masih cukup besar dan termasuk salah satu negara terbesar nomor satu di dunia. Jadi biarkan saja penjualan bijih nikel dari perusahaan tambang nikel dalam negeri ke smelter tanpa ada pembatasan kuota sesuai dengan permintaan pasar industri smelter.

“Supaya untuk memenuhi kebutuhan smelter terlebih dulu karena smelter itu dibangun untuk meningkatkan nilai tambah, menghasilkan produk turunan nikel. Sehingga dengan adanya pengurangan kuota bijih nikel itu maka produksi produk turunannya akan menurun, dan ini akan menurunkan pendapatan di Indonesia dan nilai tambahnya,” jelasnya.

Ia menegaskan, sekali lagi kebijakan pengurangan kuota itu tidak tepat kalaupun alasannya adalah cadangan nikel menipis, itu tidak beralasan. Bahkan dengan alasan untuk menurunkan atau menaikkan harga jual dari nikel itu juga tidak bisa terpenuhi karena ada negara lain yang akan mengisi kekurangan akibat pengurangan kuota tersebut.

Fahmy memaparkan bahwa tujuan dari hilirisasi nikel bukanlah smelterisasi melainkan nilai tambah. Nilai tambah untuk menciptakan ekosistem industri yang saling terkait dari hulu sampai ke hilir. Sehingga sampai sekarang ini baru menghasilkan produk turunan pertama dan kedua.

“Jadi, itu bukan hilirisasi tapi smelterisasi, nilai tambahnya rendah, dan sebagian besar nilai tambah itu dinikmati oleh pemilik smelter dari China,” paparnya.

Dia mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah harus kembali mengarah kepada terciptanya hilirisasi dan itu juga yang menjadi program Presiden Prabowo Subianto. Tanpa itu, nilai tambah komoditas nikel akan rendah.

Ia menegaskan kembali bahwa tidak perlu ada pembatasan kuota karena justru akan merugikan Indonesia. Bahkan ironis, untuk memenuhi kekurangan pasokan bijih nikel smelter harus mengimpor kekurangannya tersebut.

“Ini kan aneh, di satu sisi kebijakannya melarang ekspor bijih nikel tapi di sisi lain kita justru impor. Ini tidak tepat maka sekali lagi bahwa kebijakan kuota itu sangat tidak tepat,” tegasnya. (Shiddiq)