NIKEL.CO.ID, MAKASSAR — Industri tambang di Indonesia menawarkan berbagai peluang menarik bagi fresh graduate yang baru meniti karier. Namun, mereka harus memahami konsep dasar manajerial.
Hal itu ditegaskan Wakil Ketua Komisi Tetap Bidang Mineral dan Batu Bara, Kadin Indonesia, Ir. Wisnu Salman, S.T., I.P.M.,ASEAN Eng.,C.EIA, dalam presentasinya di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar, Rabu (6/11/2024).
“Bagi lulusan baru yang ingin terjun ke dunia tambang, memahami konsep dasar manajerial sangatlah penting. Prinsip POACE, yaitu planning, organizing, actuating, controlling, dan evaluating, bisa menjadi dasar yang kuat dalam menjalankan peran mereka di industri ini,” jelas Direktur PT Geo Mining Berkah itu.
Ia menekankan, kemampuan manajerial tersebut dapat menjadi nilai tambah yang signifikan bagi lulusan yang baru masuk dunia kerja. Posisi management trainee adalah salah satu jalur yang paling terbuka bagi fresh graduate.
“Posisi ini memungkinkan lulusan baru untuk belajar langsung di lapangan, memahami seluk-beluk operasional tambang, dan mengasah kemampuan manajerial serta teknis,” ujarnya.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Tambang Batuan Indonesia (ATBI) ini, program management trainee umumnya memberikan pelatihan komprehensif, sehingga peserta dapat memahami seluruh aspek bisnis tambang dari berbagai sudut pandang.
Selain itu, ia juga menguraikan berbagai peluang karier di industri tambang, mulai dari owner, kontraktor, subkontraktor, hingga konsultan. Setiap posisi tersebut memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri, serta memberikan ruang bagi lulusan pertambangan untuk berkembang.
Di akhir presentasinya, Wisnu mengingatkan para mahasiswa bahwa selain penguasaan keterampilan teknis, kemampuan memahami dinamika industri dan peluang bisnis di sektor tambang juga sangat penting.
“Dengan potensi sumber daya yang besar, lulusan pertambangan di Indonesia memiliki peluang besar untuk berkontribusi dan sukses dalam industri ini. Yang penting adalah memiliki kemauan untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan,” tuturnya.
Dalam presentasi tersebut ia juga menyoroti hilirisasi nikel di Indonesia yang saat ini cenderung lebih menguntungkan investor asing ketimbang ekonomi domestik.
“Mayoritas smelter nikel di Indonesia dikuasai oleh investor asal Tiongkok dan produk setengah jadi, seperti nickel pig iron dan feronikel, diekspor ke Tiongkok untuk proses lebih lanjut. Akibatnya, nilai tambah terbesar justru tercipta di luar negeri,” ungkapnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa pemerintah memberikan berbagai insentif fiskal yang lebih banyak dimanfaatkan oleh perusahaan asing, sementara penambang lokal kerap harus menjual nikel di bawah harga pasar internasional kepada smelter asing.
Untuk memaksimalkan manfaat hilirisasi bagi ekonomi dalam negeri, ia menyarankan agar fokus diarahkan pada pengembangan smelter nikel kelas 1 yang mampu menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, sehingga Indonesia dapat merasakan dampak ekonomi yang lebih besar dari kekayaan mineralnya. (Aninda)