Beranda Nikel Ekspansi Hilirisasi Nikel Indonesia Dorong Transisi ke Energi Terbarukan

Ekspansi Hilirisasi Nikel Indonesia Dorong Transisi ke Energi Terbarukan

2651
0
Ilustrasi smelter nikel. (freepik.com)
Ilustrasi smelter nikel. (freepik.com)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Ekspansi industri hilirisasi nikel di Indonesia diperkirakan akan meningkatkan emisi karbon secara signifikan, dengan potensi kenaikan mencapai 38,5 juta ton CO2 pada tahun 2028. 

Hal ini disebabkan oleh ketergantungan perusahaan nikel terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara, demikian dikutip dari laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Kamis (24/10/2024).

Laporan bertajuk “Indonesia’s Nickel Companies: The Need for Renewable Energy Amid Increasing Production” itu mengungkapkan bahwa empat perusahaan besar—PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Merdeka Battery Materials (MBMA) Tbk, PT Trimegah Bangun Persada (Harita Nickel) Tbk, dan PT Vale Indonesia Tbk—berencana meningkatkan produksi nikel mereka. Produksi logam nikel dari keempat perusahaan ini diprediksi naik dari 350 ribu ton pada tahun lalu menjadi 1,05 juta ton pada 2028.

Akibatnya, emisi gas rumah kaca (GRK) dari empat perusahaan tersebut diproyeksikan melonjak drastis. 

“Seiring perusahaan nikel Indonesia menikmati pertumbuhan laba dan skala bisnisnya, dengan rencana meningkatkan produksi lebih dari dua kali lipat dalam 3-5 tahun ke depan, sudah saatnya dilakukan percepatan transisi dari batu bara,” ujar Ghee Peh, penulis laporan tersebut.

Antam saat ini tercatat menghasilkan emisi terbesar, yakni 69,9 ton CO2 per ton nikel (tCO2/tNi), diikuti oleh Harita (68,4 tCO2/tNi), MBMA (56,9 tCO2/tNi), dan Vale (28,7 tCO2/tNi). Vale berhasil mencatat emisi yang lebih rendah berkat penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan pembangkit berbasis biodiesel.

Laporan IEEFA menyajikan dua skenario terkait proyeksi emisi di masa depan. Dalam skenario pertama, jika intensitas emisi dari keempat perusahaan tidak berubah, maka total emisi bisa mencapai 38,5 juta ton, setara dengan 4,5% dari total emisi GRK Indonesia pada 2023 yang mencapai 861,5 juta ton. Namun, jika perusahaan-perusahaan tersebut mampu menurunkan intensitas emisi seperti Vale, total emisi dapat berkurang hingga 43% menjadi 22,3 juta ton pada 2028.

“Jika perusahaan masih bergantung pada PLTU berbahan bakar fosil, dampak lingkungan dari peningkatan kapasitas produksi nikel sebesar 530 ribu ton pada 2028 akan sangat signifikan,” jelasnya. 

Ia menambahkan, sekitar 51% dari kapasitas tambahan tersebut akan berasal dari produksi feronikel yang memiliki tingkat emisi tinggi (sekitar 60 tCO2/tNi), sedangkan sisanya 49% akan dihasilkan melalui proses presipitat hidroksida campuran (MHP) yang lebih rendah emisi dengan teknik High-Pressure Acid Leach (HPAL).

Vale saat ini mencatat intensitas emisi terendah di antara empat perusahaan berkat porsi energi terbarukan sebesar 30,1%. Harita, MBMA, dan Antam masing-masing menggunakan energi terbarukan dalam porsi yang jauh lebih kecil, yaitu 5,3%, 4,9%, dan 1,2%. Meskipun demikian, Vale masih menggunakan bahan bakar fosil untuk mayoritas operasi smelter mereka.

Untuk memperbaiki kondisi ini, Harita berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 300 MW pada 2025. MBMA juga berencana menggunakan PLTS, namun belum merinci kapasitasnya. Sementara itu, Antam berencana menghentikan penggunaan PLTU miliknya, tetapi akan beralih ke listrik dari PT PLN (Persero) yang masih bergantung pada gas dan PLTU.

“Perusahaan harus menyeimbangkan manfaat ekonomi dari meningkatnya ekspor produk hilirisasi nikel dengan dampak lingkungan, dan mengurangi emisi dengan mengganti PLTU dengan energi terbarukan,” tegasnya.

Pemanfaatan energi terbarukan oleh Vale dan Harita membuktikan bahwa perusahaan nikel di Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan menurunkan emisi GRK. Namun, transisi ke energi terbarukan yang lebih bersih seperti air dan surya harus dipercepat untuk menekan dampak lingkungan dari ekspansi industri ini. (Aninda)