Beranda Korporasi Akhirnya, Indonesia Miliki Pabrik Nikel dan Kobalt Sulfat Pertama Terbesar di Dunia

Akhirnya, Indonesia Miliki Pabrik Nikel dan Kobalt Sulfat Pertama Terbesar di Dunia

5272
0
Ilustrasi Pabrik Nikel. (foto: Freepik.com)

NIKEL.CO.ID, 12 APRIL 2023- Pabrik nikel sulfat PT Halmahera Persada Lygen (HPL), anak usaha PT Trimegah Bangun Persada (Harita Nickel), memasuki tahap uji coba produksi akhir (final commissioning). Pabrik tersebut digadang-gadang menjadi yang pertama di Indonesia dan terbesar di dunia.

Nikel sulfat (NiSO4) adalah bahan prekursor untuk katoda baterai lithium atau baterai kendaraan listrik. Selain nikel sulfat, pabrik juga akan memproduksi kobalt sulfat (CoSO4) yang merupakan bahan katoda baterai lithium.

Dua bahan baku baterai listrik tersebut berasal dari pengolahan bijih nikel kadar rendah atau limonit 1,1-1,5 persen. 

Mengutip prospektus Harita Nickel, metode pengolahan limonit menggunakan High Pressure Acid Leach (HPAL), yaitu proses hidrometalurgi mainstream yang memanfaatkan suhu tinggi, tekanan tinggi, dan asam sulfat untuk memisahkan nikel dan kobalt dari bijih nikel laterit.

“Kami masih menunggu perkembangan uji coba ini untuk menentukan target operasional (pabrik nikel sulfat),” kata Head of Technical Support HPL Rico W Albert di Pulau Obi, Halmahera Selatan, dikutip Nikel.co,id, Rabu (12/4/2023).

Kapasitas pengolahan HPL mencapai 7,6 juta ton limonit per tahun yang diolah menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan produk akhirnya adalah nikel sulfat dan kobalt sulfat. Investasi itu menelan biaya US$1,1 miliar atau sekitar Rp16,5 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu per dolar AS).

Tahap I, lanjut Rico, pabrik tersebut memiliki kapasitas produksi nikel sulfat sebesar 160 ribu metrik ton (MT) per tahun. Pada Tahap II, kapasitas akan bertambah 80 ribu MT menjadi 240 ribu MT.

“Untuk kobalt sulfat kapasitasnya 30 ribu MT per tahun,” jelasnya.

Saat ini perseroan telah mengoperasikan tiga lini produksi PLTMH, yakni pengolahan dan pemurnian limonit sebelum diolah lebih lanjut menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat. Bahan ini merupakan bahan baku penting dalam rantai produksi baterai lithium.

Sementara itu, Harita Nickel selaku pemegang 45,1 persen saham HPL berharap produksi nikel sulfat bisa dimulai tahun ini.

“Tahun ini kami ingin memproduksi 50 persen untuk PLTMH dan 50 persen untuk nikel sulfat dan kobalt sulfat,” ujar Direktur Health, Safety and Environmental Harita Nickel Group Tonny Gultom.

Tony mengaku bangga karena HPL merupakan pabrik tercepat di dunia yang mampu mencapai 100 persen kapasitas pengolahan limonit dengan metode HPAL. Sebelumnya, limonit hanya dianggap sebagai bagian dari overburden yang disisihkan.

“Untuk produksi MHP, lini pertama (produksi) hanya empat bulan (mencapai kapasitas produksi 100 persen), lini kedua dua bulan, lini ketiga satu bulan. Negara lain membutuhkan empat hingga lima tahun,” katanya.

Jika pabrik nikel sulfat perseroan resmi beroperasi, impian Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadikan Indonesia sebagai “raja” industri kendaraan listrik semakin dekat dengan kenyataan.

Ambisi tersebut tidak berlebihan mengingat Indonesia memiliki cadangan nikel yang merupakan komponen utama baterai kendaraan listrik jenis NHC dan NMA terbesar di dunia. Berdasarkan data United States Geological Survey (USGS), cadangan nikel RI mencapai 23 persen.

Kendati demikian, Tony mengingatkan masih panjang jalan yang harus ditempuh untuk memproduksi baterai listrik di dalam negeri. Pasalnya, rantai produksi baterai nikel listrik masih harus melalui prekursor, elektroplating, katoda, dan sel baterai.

Karena Indonesia belum memiliki industri turunan nikel sulfat, produk yang dihasilkan HPL akan diekspor terlebih dahulu.

“Offtaker (nikel sulfat) sudah ada. Kami tidak ada masalah. Saat ini yang baru mau beli dari China, tapi kami open ke pasar. Kami selalu mengeluarkan produk terbaik dengan penawaran terbaik,” jelasnya.

Tony berharap semakin banyak investor yang berminat membangun industri turunan nikel di dalam negeri. Pasalnya, perkembangan industri turunan akan mendongkrak permintaan bahan baku yang diproduksi perseroan.

“Saat ini kami sedang konsentrasi produksi nikel sulfat dan kobalt sulfat dulu. Saya tahu pemerintah berharap investor menghilirisasinya sampai (produksi) baterai listrik ada di negara kita,” ujarnya.

Hilirisasi nikel tumbuh pesat sejak pemerintah melarang ekspor bijih ( ore ) pada 1 Januari 2020. Alhasil, nilai tambah ekspor nikel meroket dari hanya US$1,1 miliar atau Rp 16,5 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per dolar AS) menjadi US$ 33,81 miliar atau Rp 507,15 triliun tahun lalu.

Mengutip paparan Menteri Penanaman Modal/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada Forum Investasi B20 di Bali November lalu, nilai tambah nikel sulfat 11,4 kali lipat dari limonit. Kemudian nilai tambah prekursor 19,4 kali, katoda 37,5 kali, dan sel baterai 67,7 kali. (Lili Handayani)