
NIKEL.CO.ID, 9 Maret 2022-Harga nikel dunia mengalami masa keemasan, tembus lebih dari 100.000 dolar Amerika Serikat. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel (APNI), Meidy Katrin Lengkey, minta pemerintah segera mengambil sikap.
Meidy mengatakan, di tengah harga nikel dunia untuk kadar 1,8% jelang pertengahan Maret 2022 yang sedang tinggi, tembus lebih dari 100.000 dolar AS, jika terus stabil, tentu harga HPM nikel di April juga akan naik.
Hanya saja, euforia kenaikan harga nikel dunia ini tidak bisa dinikmati secara langsung oleh pelaku pertambangan nikel. Pasalnya, masih banyak kendala yang mereka hadapi. Sebut saja izin RKAB perusahaan pertambangan yang ditolak, belum lagi banyak IUP yang dicabut pemerintah.
Menurut Meidy, kenaikan harga nikel dunia ini hanya kesenangan sesaat saja, meskipun dia berharap harga ini stabil selama satu bulan ke depan saja.
Ia mengutarakan, walaupun harga nikel sedang tinggi-tingginya, pelaku hulu nikel sedang terkena demam ketakutan, karena banyak izin RKAB ditolak dan IUP perusahaan pertambangan nikel IUP-nya dicabut pemerintah. Jadi, pelaku hulu kurang cukup menikmati peningkatan harga nikel ini.
Padahal, berdasarkan data APNI, kata Meidy, demand untuk smelter di tahun ini hampir 120 juta ton bijih nikel. Pertanyaannya, bagaimana permintaan bijih nikel di 2022, jika persetujuan RKAB ditolak dan IUP dicabut pemerintah?
Menurutnya, jika semua perusahaan pertambangan mendapatkan izin RKAB, mereka bisa melakukan penjualan sesuai ketentuan harga nikel sekarang, harga di bulan Maret. Jika banyak perusahaan belum dapat persetujuan RKAB, tentu perusahaan pertambangan nikel tidak bisa mengirim dan tidak bisa menjual ke pabrik.
Pelaku hulu juga ikut memikirkan, kondisi di tengah harga nikel dunia yang sedang tinggi ada penerimaan untuk negara. Beberapa waktu lalu, APNI sudah meminta kepada pemerintah, pada saat keran ekspor dibuka untuk produk olahan nikel, seperti nikel pig iron dan feronikel, dibebankan biaya keluar.
Meidy menuturkan, jika dibebankan biaya keluar ekspor 1% atau 2% persen dari total produksi, tentu negara akan mendapatkan angka yang fantantis, untuk PNBP.
PNBP saat ini, kata Meidy, transaksinya berdasarkan harga yang berlaku pada periode kemarin, yaitu HPM di Maret, ketika LME masih di angka antara 23 ribu-25 ribu dolar AS. Jika di April harga komoditas nikel naik lagi, tentu HPM akan kena dampaknya. Apakah HPM nanti naik di angka 30 ribu-50 ribu dolar AS, tentu harga bijih nikel akan lebih tinggi lagi.
Menurutnya, saat ini kebutuhan lokal cukup tinggi, karena banyak berdiri pabrik baru. Apalagi sudah berdiri dua pabrik HPAL atau pabrik hidrometalurgi yang bersedia menerima bijih nikel kadar rendah.
Permasalahannya dari pelaku hulu, lanjutnya, pemerintah belum mengatur atau menghitung HPM khusus limonit. APNI berharap bukan hanya bijih nikel kadar rendah yang diperhitungkan harganya, tetapi ada mineral lain yang juga harus diperhitungkan, salah satunya kobalt.
“Kita sudah mengecek harga kobalt hari ini (Selasa, 8 Maret 2022), sudah menembus harga 80 ribu dollar AS. Harga yang fantansis. Tapi, jika pabrik olahan itu mengolah kobal sulfat, namun raw materialnya tidak dihitung, mereka dapat bahan gratis, dong. Sedangkan mereka mengelola juga kobalt sulfatnya,” paparnya.
Jika kobalt ikut dihitung, jelasnya, ada potensi penerimaan negara dari unsur mineral lain, selain nikel. Apalagi harga kobalt sedang tinggi-tingginya di pasar internasional. Namun, mengapa kobalt di Indonesia harganya tidak diperhitungkan.
Selain itu, untuk bijih nikel kadar rendah, APNI meminta pemerintah untuk segera menghitung HPM-nya yang sesuai. Karena, angka pembelian dari smelter selama beberapa bulan terakhir tidak masuk akal.
APNI meminta pemerintah memberlakukan harga nikel sesuai Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020. Di peraturan itu sudah jelas ketentuan harga nikel, yang diterbitkan Kementerian ESDM setiap bulan. Transaksinya pun harus mekanisme FOB.
“Cukuplah kita menanggung biaya-biaya yang sebenarnya itu bukan menjadi tanggungan kita. Aturan transaksi dalam Permen Nomor 11 Tahun 2020 berdasarkan FOB, tapi kenapa smelter selalu memberi dengan konsep CIF. Jadi, kami mau tidak mau harus menaggung biaya pengiriman nikel,” pungkasnya.
Selain itu, masih menurut Meidy, masih juga terjadi perbedaan analisa. Artinya, invoice yang disampaikan ke negara dengan invoice yang disampaikan dengan pihak pembeli, yaitu smelter, berbeda jauh. Dampaknya bagi pengusaha pertambangan nikel ketika penghitungan pembayaran SPT atau ke PPh tahunan.
“Mudah-mudahan pemerintah betul-betul melihat perbedaan-perbedaan ini, sehingga tidak terjadi lagi potensi-potensi kehilangan penerimaan negara,” harapnya.
Pengaruh Perang Rusia-Ukraina bagi Indonesia
Saat ini negara-negara di dunia sedang tidak nyaman seiring berkecamuknya perang antara Rusia dengan Ukraina. Perang kedua negara ini efeknya sangat luar biasa, salah satunya ikut mempengaruhi harga nikel dunia.
Meidy mengatakan, efek perang kedua negara ini secara tidak langsung mengganggu suplai nikel dari negara-negara lain. Hal ini bisa dilihat berkurangnya stok di LME, kondisinya saat ini sangat menipis. Kondisi ini sebagai salah satu efek harga nikel dunia mulai meningkat drastis.
Rusia sendiri merupakan salah satu negara penghasil nikel. Sementara Indonesia sebagai penghasil nikel terbesar di dunia, juga melihat kondisi dunia akibat perang kedua negara ini. Situasinya terjadi gangguan pengiriman nikel dari Rusia, mungkin juga dari Indonesia. Maka, terjadi over demand, karena suplai nikel ke negara-negara lain berkurang. Dari sisi ekonomi, kondisi ini mengakibatkan harga nikel dunia yang semakin tinggi.
Dampaknya bagi Indonesia, jika dilihat momentum harga nikel yang luar biasa. Meidy menyebutnya sebagai harga keemasan, selain dapat memberikan penerimaan negara, hal ini bisa berdampak ke daerah penghasil nikel.
“Tingkat produksi penambang di daerah pun bisa ditingkatkan lagi, tentunya sesuai persetujuan RKAB dari Kementerian ESDM, yang akhirnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat di sekitar area pertambangan nikel. Jadi efek dominonya dapat dirasakan daerah setempat. Otomatis pertumbuhan ekonomi di daerah akan naik,” jelasnya.
Saat ini, sambungnya, pelaku hulu membayar royalty 10%, dimana sebesar 8% dikembalikan ke daerah. Jika produksi nikel mereka meningkat, tentu pendapatan daerah akan naik.
Meidy mengingatkan bahwa pemerintah sedang membutuhkan banyak biaya akibat pandemik Covid-19. Pemerintah juga sedang membutuhkan dana untuk pembangunan ibu kota baru. Karena itu, pemerintah harus segera mengambil sikap dari momentum ini, sehingga ada penerimaan untuk negara.
“Saya kira, penambang atau pelaku industri pertambangan tidak ada masalah, setuju dibebankan bea ekspor karena harga nikel sedang tinggi. Saat ini harga nikel tembus di atas 100 ribu dolar AS sangat luar biasa,” ujarnya.
Menurutnya, jika harga nikel di angka 100 ribu dolar AS dibebankan sedikit saja, yang negara berikan ke pelaku usaha pertambangan untuk melakukan ekspor feronikel maupun nikel pig iron, tidak keberatan. Apalagi industri hilir terlalu banyak diberikan fasilitas oleh pemerintah.
“Kita sebagai penyedia bahan baku nikel, bertanya mengapa tidak dikenakan tax insentif, sementara pelaku hilir diberikan tax allowance atau keringanan pajak. Jika tidak dikenakan bea keluar, negara dapat apa?” tanyanya. (Syarif/Fia)