Konsultan Independen Sektor Pertambangan, Steven Brown. Foto: Istimewa
NIKEL.CO.ID– Pemerintah Indonesia saat ini gencar membangun hilirisasi industri untuk pengolahan dan pemurnian (smelter) pertambangan mineral, termasuk nikel. Selain untuk meningkatkan nilai tambah produk nikel, juga untuk pemenuhan bahan baku baterai dan kendaraan listrik.
“Di Indonesia, seperti di Pulau Obi, Maluku Utara, sudah ada pabrik yang memproduksi Mix Hydroxide Precipate (MHP). Produk ini merupakan cikal bakal nikel sulfat dan kobalt sulfat untuk bahan baku komponen baterai,” kata Konsultan Independen Sektor Pertambangan, Steven Brown kepada Nikel.co.id, baru-baru ini.
Menurut Steven, dengan posisi nikel Indonesia peringkat satu dunia, sebenarnya pemerintah bisa mendapatkan banyak manfaat. Misalnya, dari sisi peraturan kewajiban pembayaran royalty atau perpajakan, porsi seharusnya yang diterima negara cukup besar. Namun, sekarang banyak proyek pertambangan nikel diberikan insentif oleh Pemerintah Indonesia dalam bentuk tax holiday.
“Sebenarnya insentif untuk beberapa proyek, khususnya proyek NPI, tidak terlalu diperlukan. Karena, saat ini nikel Indonesia paling terbaik di dunia. Tanpa insentif, sebenarnya investasi tetap datang ke Indonesia,” ujar Steven.
Ia mengungkapkan, pemberian insentif itu terutama bagi investor yang menjalin kerja sama di Indonesia untuk pembangunan dan pengembangan sektor hilirisasi industri. Misalnya, untuk pembangunan smelter. Pasalnya, proyek hilirisasi industri membutuhkan investasi sangat besar.
Sementara di sektor hulu, imbuh Steven, investasinya tidak terlalu besar. Karena, proyek penambangan nikel proses penggaliannya tidak terlalu dalam. Bahkan ada kalanya tidak memerlukan proses blasting. Jadi, nilai investasi di hulu tidak sebesar hilir.
Steven tak menafikan kondisi hulu masih memprihatinkan. Pemerintah menyadari kondisi tersebut. Tetapi pemerintah berada di posisi yang sulit, karena harus mengatur hulu dan hilir.
Untuk penjualan hasil tambang nikel (hulu) ke smelter (hilir), pemerintah telah mengeluarkan regulasi tentang harga patokan mineral (HPM).
“Namun dalam praktiknya masih ada chek and recheck untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan antara penambang sebagai penjual nikel dan smelter sebagai buyer. Jadi, di lapangan masih ada cara-cara yang sulit diatur untuk memenuhi itu,” ungkapnya.
Dalam hal transaksi jual-beli, menurut Steven, posisi kuat ada di pihak smelter. Jumlah perusahaan penambang yang lebih banyak dibandingkan jumlah smelter, lebih menguatkan posisi smelter untuk menawar harga nikel yang ditawarkan dari para penambang.
“Itu tadi yang saya bilang pemerintah sulit untuk masuk ke area bisnis pihak swasta. Sebenarnya dalam bisnis problemnya bertubi-tubi,” katanya. (Fia/Herkis/Syarif)