NIKEL.CO.ID – Kabar bakal masuknya raksasa mobil listrik Amerika Serikat, Tesla Inc, ke Indonesia menimbulkan euforia luar biasa sejak tahun lalu. Banyak yang berpikir, Indonesia segera memasuki era mobil listrik.
Terbayang jalanan macet Jakarta akan berseliweran mobil listrik dengan desain canggih dan futuristik. Ketika bos Tesla, Elon Musk diberitakan akan bertemu para pejabat Indonesia Februari lalu, optimism kian memuncak bahwa Indonesia bakal menjadi salah satu pusat produksi mobil listrik dunia. Saham-saham emiten produsen nikel di Bursa Efek Indonesia pun keciptratan sentimen positif sehingga harganya melejit.
Maklumlah, nikel merupakan bahan baku utama baterai kendaraan listrik. Di tengah belum adanya kejelasan pertemuan itu hingga kini, muncul berita ‘menyodok’ dari India yang mengklaim Tesla bakal membangun pabrik di negara berpenduduk terbesar kedua di dunia itu. Artinya, Tesla batal membangun pabrik mobil listrik di Indonesia, namun hanya mendirikan industri sistem penyimpanan energi berkapasitas ekstra besar.
Kabar mundurnya Tesla dibantah para pejabat kita dan ditegaskan bahwa negosiasi dengan Tesla masih berlanjut. Boleh jadi, rumor batalnya Tesla investasi mobil listrik itu menjadi salah satu pemicu pemerintah mengubah kebijakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PnBM) tentang mobil listrik, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (15/3/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah membedakan perlakuan PPnBM antara mobil listrik full baterai (Battery Electric Vehicle/ BEV) dan mobil hibrid, baik yang hybrid penuh maupun yang Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV).
Dalam beleid baru nanti, PPnBM untuk BEV tetap 0%, sedangkan untuk kategori berbagai jenis hybrid dikenai PPnBM bervariasi. Skema pertama diusulkan antara 5-7%, sedangkan skenario kedua dikenai tarif antara 8% hingga 14%. Seperti diketahui, mobil yang mengadopsi BEV sumber tenaganya murni berasal dari baterai.
Sedangkan, PHEV memadukan dua mesin sekaligus, yakni mesin konvensional dan mesin berbasis baterai. Menteri Keuangan mengakui, perubahan tarif ini dilakukan karena tarif lama yang diatur dalam PP No 73/2019 tersebut menyebabkan para investor yang akan membangun pabrik mobil listrik di Indonesia merasa tidak cukup kompetitif dibandingkan yang tidak full battery.
Perubahan tarif PPnBM telah dibahas dalam sidang kabinet bersama Menteri Koordinasi (Kemenko) Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Menteri Perindustrian, dan Kepala BKPM, serta Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Langkah pemerintah memberikan insentif pajak untuk menarik investasi cukup tepat. Apalagi mobil listrik sedang menjadi tren global, karena dunia kini menghendaki alat transportasi yang bersih lingkungan.
Selain itu, teknologi mobil listrik dipandang sebagai teknologi yang ‘relatif baru’, sehingga Indonesia bisa mengejar teknologi termutakhir dengan menggandeng prinsipal yang tepat.
Negara kita berpotensi menjadi pemain utama kendaraan listrik dunia. Lagi pula, Indonesia memiliki cadangan nikel berlimpah sebagai bahan baku baterai sehingga menjadi incaran investor-investor besar.
Dalam hal ini, percepatan hilirisasi industri nikel harus menjadi fokus pemerintah agar Indonesia tidak lagi sekadar menjadi negara pengekspor sumber daya alam mentah yang kurang memberikan nilai tambah.
Sejumlah negara maju telah mendesain roadmap tentang penggunaan mobil listrik. Bahkan beberapa Negara bakal melarang mobil berbahan bakar fosil yang polutif mulai 2040. Di Indonesia sendiri, emisi dari sektor transportasi mencapai 30% dari total emisi CO2. Emisi tertinggi terutama berasal dari transportasi darat yang berkontribusi 88% terhadap total emisi di sektor transportasi.
Dengan demikian, insentif pajak yang digulirkan pemerintah bukan saja bertujuan untuk meningkatkan investasi, namun juga untuk mengurangi emisi karbon. Indonesia telah berjanji untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada 2030 sebagaimana diatur dalam Paris Agreement.
Kebijakan itu juga selaras dengan komitmen untuk memanfaatkan tren teknologi global yang memiliki fokus pada energy baru terbarukan. Hal lain yang harus digarisbawahi dalam pemberian insentif pajak adalah aspek keadilan (fairness).
Harap diingat bahwa sejumlah produsen mobil yang ada sudah telanjur mengembangkan mobil hibrid. Jangan sampai, insentif untuk mobil listrik (BEV) ini menjadi disinsentif bagi mobil hibrid. Sebagai gambaran, penjualan mobil listrik di Tanah Air pada 2020 baru mencapai 120 unit, sedangkan mobil hibrid terjual 1.108 unit.
Dengan kata lain, jangan sampai sebuah kebijakan hanya ditujukan untuk memanjakan calon investor baru, tapi merugikan investor lama yang sudah ada. Kita tentu tidak ingin mendapat stigma sebagai negara yang tidak memberikan kepastian hukum di mata investor. Selain itu, insentif pajak juga jangan sampai menimbulkan kecemburuan dan memperburuk kesenjangan.
Sebagai contoh, relaksasi PPnBM untuk pembelian mobil baru di bawah 1.500 cc, yang akan diperluas untuk mobil ber-cc lebih besar, bisa dipandang sebagai sikap pilih kasih pemerintah terhadap kelas menengah atas. Meski tujuan beleid itu untuk menggenjot konsumsi, kita harus ingat bahwa semakin banyak penduduk miskin dan penganggur yang menderita terimbas pandemi.
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul “Keadilan Insentif Pajak“