NIKEL.CO.ID – Jika di tahun 2000-an batu bara adalah komoditas tambang yang menjadi ‘primadona’ bagi Indonesia. Kendati pesona batu bara belum redup di Tanah Air, tetapi status ‘primadona’ telah diambil alih oleh komoditas tambang lainnya yaitu nikel.
Nikel merupakan salah satu jenis logam dasar yang digadang-gadang jadi komoditas masa depan. Nikel merupakan salah satu logam hasil tambang yang digunakan untuk berbagai keperluan.
Di pasar dikenal ada dua jenis nikel yaitu nikel kelas I dan kelas II. Nikel kelas II banyak digunakan untuk pembuatan stainless steel, sementara kelas I digunakan untuk produk lain seperti komponen baterai mobil listrik.
Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton. Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.
Area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara punya potensi yang terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini. Indonesia juga menjadi salah satu produsen nikel terbesar di dunia dengan menyumbang 27% dari total produksi global.
Jika di tahun 2000-an batu bara adalah komoditas tambang yang menjadi ‘primadona’ bagi Indonesia. Kendati pesona batu bara belum redup di Tanah Air, tetapi status ‘primadona’ telah diambil alih oleh komoditas tambang lainnya yaitu nikel.
Nikel merupakan salah satu jenis logam dasar yang digadang-gadang jadi komoditas masa depan. Nikel merupakan salah satu logam hasil tambang yang digunakan untuk berbagai keperluan.
Di pasar dikenal ada dua jenis nikel yaitu nikel kelas I dan kelas II. Nikel kelas II banyak digunakan untuk pembuatan stainless steel, sementara kelas I digunakan untuk produk lain seperti komponen baterai mobil listrik.
Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton. Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.
Area Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara punya potensi yang terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini. Indonesia juga menjadi salah satu produsen nikel terbesar di dunia dengan menyumbang 27% dari total produksi global.
Kendati memiliki banyak kegunaan terutama untuk industri masa depan (mobil listrik), selama ini Indonesia masih mengekspor nikel dalam bentuk mentah (bijih) yang harganya murah.
Rencana awal pemerintah akan menghentikan ekspor bijih nikel di tahun 2022. Namun pada akhir Agustus 2019, pemerintah resmi melakukan moratorium ekspor bijih nikel yang efektif per 1 Januari 2020, atau dua tahun lebih cepat dari target.
Saat awal pemerintah mengumumkan penghentian ekspor pada Juli 2019 harga nikel di London Metal Exchange (LME) mulai bergeliat. Kemudian saat rumor penghentian ekspor akan dimajukan jadi tahun 2020 pada pertengahan Agustus menyeruak, harga nikel semakin liar.
Hanya dalam kurun waktu dua bulan saja harga nikel di LME naik dari US$ 12.000/ton menjadi US$ 18.000/ton, atau naik 50%. Namun akibat pandemi Covid-19 harga nikel langsung longsor ke bawah US$ 12.000/ton pada April tahun 2020.
an terutama untuk industri masa depan (mobil listrik), selama ini Indonesia masih mengekspor nikel dalam bentuk mentah (bijih) yang harganya murah.
Rencana awal pemerintah akan menghentikan ekspor bijih nikel di tahun 2022. Namun pada akhir Agustus 2019, pemerintah resmi melakukan moratorium ekspor bijih nikel yang efektif per 1 Januari 2020, atau dua tahun lebih cepat dari target.
Saat awal pemerintah mengumumkan penghentian ekspor pada Juli 2019 harga nikel di London Metal Exchange (LME) mulai bergeliat. Kemudian saat rumor penghentian ekspor akan dimajukan jadi tahun 2020 pada pertengahan Agustus menyeruak, harga nikel semakin liar.
Hanya dalam kurun waktu dua bulan saja harga nikel di LME naik dari US$ 12.000/ton menjadi US$ 18.000/ton, atau naik 50%. Namun akibat pandemi Covid-19 harga nikel langsung longsor ke bawah US$ 12.000/ton pada April tahun 2020.
Kebijakan penghentian untuk menghentikan ekspor bijih nikel bukan tanpa pro-kontra. Uni Eropa (UE) yang bergantung pada pasokan nikel dari RI langsung membawa masalah ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sebagai informasi, Indonesia mengekspor 98% nikelnya ke China dan sisanya ke UE. Blok kerja sama ekonomi di Benua Biru tersebut merasa dirugikan dengan kebijakan pemerintah RI.
Baru-baru ini Komisi UE meminta WTO untuk membentuk panel yang mengurusi perselisihan dagang antara kedua belah pihak. Berbeda dengan UE yang masuk ke jalur hukum lewat WTO, China justru memilih jalan lain dengan berinvestasi ke Indonesia.
Dengan kebijakan moratorium ekspor bijih nikel, Indonesia diharapkan mampu menjadi salah satu pemain global dalam industri stainless steel dan yang tak ketinggalan adalah mobil listrik.
Nikel akan menjadi bahan baku utama untuk komponen baterai di mobil listrik. Melihat Indonesia yang kaya akan sumber daya alam ini, bos Tesla Elon Musk mulai melirik RI dan kabarnya akan berinvestasi dengan membangun pabrik baterai di kawasan industri Batang.
Analis dan ekonom pun memberikan outlook bullish untuk harga nikel akibat tren penjualan mobil listrik yang diramal bakal terus naik. Salah satu yang memberikan ramalan bullish tersebut adalah Goldman Sachs.
Bank investasi asal Wall Street itu memperkirakan target harga nikel akan menyentuh US$ 21.000/ton dalam periode 12 bulan ini. Goldman Sachs merevisi naik harga nikel dari sebelumnya US$ 16.000/ton.
Dalam update terbarunya Goldman Sachs memandang tren penjualan mobil listrik masih akan terus meningkat. Jika tidak dibarengi dengan upgrade penggunaan baterai dari nikel maka pasokan nikel diramal bakal defisit mulai dari 2023.
Namun jika adopsi baterai mobil listrik dari nikel mengalami peningkatan yang pesat maka akan semakin mendorong naik harga nikel. Sebelumnya DBS juga punya outlook positif untuk harga nikel.
DBS dalam laporannya menyebut harga nikel tahun ini bakal bullish dan tembus ke atas US$ 20.000/ton. Hal tersebut karena ditopang oleh adanya defisit pasokan nikel di saat permintaan sedang naik-naiknya. Tren ini terutama terjadi untuk nikel kelas I yang banyak digunakan untuk baterai mobil listrik.
Proyeksi DBS, permintaan nikel kelas I akan tumbuh 5,9% setiap tahunnya sampai 2025. Untuk periode yang sama pasokan nikel kelas I hanya tumbuh 3,3%.
Sementara itu, untuk nikel Kelas II keseimbangan di pasar tetap terjaga tahun ini, bahkan hingga 2025 seiring dengan kuatnya peningkatan kapasitas nikel pig iron (NPI) di Indonesia mengimbangi penurunan produksi Cina dan pertumbuhan permintaan nikel untuk stainless steel.
Lebih lanjut DBS memprediksi volume penjualan mobil listrik akan naik 24% per tahun secara compounding (CAGR) ke 22,3 juta unit pada tahun 2030. Kenaikan penjualan mobil listrik tentu akan mengerek permintaan nikel kelas I seiring dengan minat yang tinggi untuk penggunaan baterai yang menggunakan nikel.
Permintaan nikel untuk baterai mobil listrik akan tumbuh sebesar 32% (CAGR ) pada 2019-2030 sehingga meningkatkan konsumsi nikel untuk baterai yang dapat diisi ulang hingga 24% per tahun menjadi 1,27 juta ton pada tahun 2030.
“Oleh karena itu, kami memperkirakan kontribusi baterai isi ulang terhadap konsumsi nikel akan meningkat hingga 30% pada 2030 dari hanya 5% pada 2019.” tulis DBS dalam laporannya.
Kini harga nikel sudah kembali tembus ke level US$ 18.000/ton. Tren kenaikan harga nikel juga membuat saham-saham emiten pertambangan ikut beterbangan. Saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) bahkan melesat dengan sangat tinggi dan menjadi salah satu saham bagger dengan capital gain lebih dari 270% sejak awal 2020.
Sumber: CNBC INDONESIA