Beranda Berita Nasional Untuk Dorong Hilirisasi hingga Produk Akhir, Pemerintah Batasi Investasi Smelter Nikel

Untuk Dorong Hilirisasi hingga Produk Akhir, Pemerintah Batasi Investasi Smelter Nikel

226
0
Hendra Sinadia (Foto: Ist)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah resmi memberlakukan PP No. 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang salah satu substansinya membatasi investasi pembangunan smelter nikel baru untuk produk antara (intermediate products). Kebijakan tersebut ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juni 2025.

Dalam Lampiran 1F3534 yang mengatur industri pembuatan logam dasar bukan besi, pemerintah menegaskan, proyek smelter baru yang menghasilkan produk antara—seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), ferronickel, dan nickel pig iron (NPI)—tidak lagi diberikan izin usaha industri. Pembatasan juga mencakup investasi baru pada smelter berbasis teknologi high pressure acid leach (HPAL) yang berhenti pada produk MHP sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik.

Menurut pemerintah, aturan tersebut bertujuan mendorong hilirisasi nikel agar Indonesia tidak berhenti pada produksi bahan setengah jadi, melainkan mengembangkan industri yang menghasilkan produk jadi dengan nilai tambah lebih tinggi.

https://events.minviro.com/decarbonisation-workshop-apac-2025?hs_preview=GJvcVbTU-272478457024

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tri Winarno, menjelaskan bahwa pembatasan tersebut diperlukan untuk mengatur tata kelola suplai nikel nasional.

Pembatasan ini diharapkan dapat mendongkrak harga nikel sekaligus memperkuat proses hilirisasi. Semangat pemerintah bukan sekadar menghentikan investasi, tetapi mengalihkan fokus industri agar menghasilkan produk jadi dan tidak berhenti pada produk setengah jadi.

Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menilai kebijakan ini muncul setelah pembangunan smelter tumbuh sangat cepat dalam satu dekade terakhir, tanpa peta jalan (roadmap) hilirisasi yang matang.

“Banyak perusahaan mengeluhkan munculnya pembatasan saat sebagian proyek sudah masuk tahap konstruksi. Sejak UU No. 4/2009 diterbitkan, pemerintah belum menyiapkan peta jalan hilirisasi yang jelas, sehingga terjadi booming smelter. Data APNI menunjukkan jumlah smelter sudah lebih dari 80, bahkan mendekati seratus dengan proyek pipeline,” ujarnya dalam tayangan IDXChannel, Rabu (26/11/2025).

https://event.cnfeol.com/en/event/339

Hendra menambahkan bahwa industri nikel Indonesia memiliki rantai pasok yang masih “banyak bolong”, terutama pada tahap setelah produk antara.

“Penambang terintegrasi sudah memenuhi kewajiban peningkatan nilai tambah sampai produk antara, seperti MHP. Tantangannya adalah industri hilirnya. Karena itu, PP ini diterbitkan untuk mendorong industrialisasi lebih lanjut,” tambahnya.

Dari sisi ekonomi dan pasar global, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho, menegaskan bahwa Indonesia menghadapi tekanan akibat ekspor produk antara yang terlalu besar.

“Terlalu banyak produk intermediate goods diekspor, terutama ke China. Ini membuat harga global tertekan dan masuk kategori oversupply. Karena itu, moratorium smelter perlu dilakukan segera,” kata Andry.

Masalah berikutnya adalah ketidakjelasan arah kebijakan hilirisasi lanjutan. Pemerintah, menurutnya, harus menentukan apakah akan mendorong industri stainless steel atau baterai kendaraan listrik.

“Hari ini 95 persen mobil listrik di dunia menggunakan baterai non-nikel, yakni lithium ferro phosphate (LFP). Artinya, pasar baterai berbasis nikel belum tentu kuat. Pemerintah harus mempertegas target hilirisasi: apakah memperkuat stainless steel atau mendorong baterai nikel, sambil memastikan pasar domestik terserap,” jelasnya.

Data realisasi investasi sektor nikel menunjukkan fluktuasi dalam dua tahun terakhir:

2024

  • Kuartal I : Rp33,4 triliun
  • Kuartal II : Rp47,5 triliun
  • Kuartal III : Rp32,87 triliun
  • Kuartal IV : Rp39 triliun

2025

  • Kuartal I : Rp47,82 triliun
  • Kuartal II : Rp46,3 triliun
  • Kuartal III: Rp42 triliun

Meski sepanjang 2025 bertahan di kisaran Rp40 triliun, terdapat kecenderungan penurunan dari kuartal ke kuartal.

Penerbitan PP 28/2025 menjadi langkah penting pemerintah untuk menata ulang industri nikel nasional yang tumbuh tanpa arah hilirisasi yang jelas. Namun, di tengah pro dan kontra pelaku industri, efektivitas kebijakan akan sangat bergantung pada kejelasan strategi hilirisasi nasional: apakah diarahkan ke stainless steel, baterai listrik, atau kombinasi keduanya dengan dukungan pasar domestik yang kuat. (Shiddiq)