NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Upaya meningkatkan kesadaran pelaku usaha tambang mengenai pentingnya penutupan tambang yang beretika dan berkelanjutan kembali menjadi sorotan. Sejumlah tambang berskala menengah dan kecil dinilai masih meninggalkan area bekas operasi dalam kondisi terbengkalai tanpa penanganan yang memadai.
Conference Chairman of Indonesia Mine Closure Conference (IMCC) 2025, Mangantar S. Marpaung, menggambarkan kondisi ini dengan analogi sederhana: banyak perusahaan yang mengelola lahan tambang layaknya konsumen yang membeli buah, memakannya, lalu membiarkan kulit dan bijinya berserakan.

“Ada tambang 300 hektare, 600 hektare. Begitu selesai ditambang, ya ditinggal begitu saja. Berserakan, kotor, tanpa etika,” kata Marpaung kepada Media Nikel Indonesia (www.nikel.co.id), di Soehana Hall, SCBD, Jakarta, Rabu (19/11/2025).
Isu utamanya bukan hanya kerusakan lingkungan, melainkan juga dampak sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar. Banyak wilayah bekas tambang telah berkembang menjadi kawasan permukiman sementara selama masa operasi. Kehadiran karyawan, pemasok bahan makanan, pedagang, dan penyedia layanan kesehatan membuat ekosistem ekonomi lokal menggeliat.
“Setelah ditutup, bagaimana keekonomiannya? Bagaimana infrastruktur yang sudah terbangun? Warung, suplai makanan, kesehatan, dan air? Ini bagian dari tanggung jawab kita,” tegasnya.

Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya memastikan keberlanjutan ekonomi dan fasilitas dasar bagi masyarakat yang telah menggantungkan hidup pada aktivitas tambang. Sementara itu, ia turut mendorong pelaku tambang untuk memandang reklamasi sebagai proses berkelanjutan yang harus dimulai sejak awal operasi, bukan hanya setelah tambang ditutup. Ia mencontohkan beberapa kasus “tekor tanah”, yakni lahan bekas tambang tidak dapat dipulihkan optimal.
“Terkadang kita menemukan lahan yang kekurangan (material) untuk menutupnya kembali. Tapi, bukan berarti semuanya harus diselesaikan dengan denda. Yang dibutuhkan bukan dendanya, melainkan solusi agar masyarakat tetap mendapatkan manfaat,” jelasnya.

Soal lain yang disinggungnya adalah umur tambang. Umur operasi tambang yang memadai menjadi hal penting yang harus mendapat perhatian agar kawasan sekitar dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Tambang yang beroperasi terlalu singkat dinilai gagal menciptakan fondasi ekonomi yang stabil.
“Kalau tambang tadinya bisa 20 tahun tapi dipangkas menjadi 10 tahun, daerah belum sempat tumbuh. Begitu tambang tutup, masyarakat pergi lagi. Jadilah ‘ghost town’. Kita tidak ingin itu terjadi di Indonesia,” paparnya.
Meski banyak tantangan, ia optimistis, Indonesia dipastikan memiliki contoh penutupan tambang yang dilakukan dengan baik. Praktik-praktik positif ini dinilai perlu diperluas agar menjadi standar di seluruh industri tambang nasional. (Uyun/R)


























