NIKEL.CO.ID, JAKARTA –Setiap aktivitas pertambangan di kawasan hutan wajib mengikuti aturan penggunaan kawasan hutan dan persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH).
Pernyataan tegas itu disampaikan Destiana Kadarsih, S.Hut., M.T., perwakilan dari Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada Indonesia Mine Closure Conference (IMCC) 2025, di Soehana Hall, SCBD, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
“Untuk (sektor) mineral hanya boleh bekerja apabila sudah mendapatkan izin atau persetujuan batas area kerja. Jadi, tidak boleh melaksanakan apa pun kegiatan di dalam sebelum izinnya keluar,” tutur Destiana.

Karena itu, penting memahami perbedaan antara reklamasi dan rehabilitasi hutan. Reklamasi diwajibkan bagi area yang telah ditambang untuk dikembalikan ke bentuk semula, sementara rehabilitasi hutan dapat dilakukan di kawasan lain yang ditunjuk oleh pemerintah.
Kemudian, ia menjelaskan prosedur pengembalian kawasan hutan ke negara setelah kegiatan tambang selesai. Proses ini meliputi evaluasi kewajiban perusahaan, termasuk reklamasi, rehabilitasi, dan pembayaran PNBP.
“Hak negara untuk menerima, hak negara untuk menolak. Nah, kalau dia menerima, maka akan kami terbitkan izin pengakhiran, SK pengakhiran,” katanya.
Dalam pengelolaan kawasan hutan, tanggung jawab tetap melekat pada pemegang PPKH hingga serah terima resmi ke negara.
“Selama Bapak Ibu memegang yang namanya SK PPKH, maka tanggung jawab yang akan dikejar adalah nama pemegang PPKH. Tidak bisa tiba-tiba masyarakat atau CSR atau Bapak mengadakan perjanjian,” tegasnya.
Ia juga menegaskan, setiap aktivitas reklamasi harus melalui prosedur resmi dan didukung dokumen perencanaan yang jelas. Pemegang PPKH surat dari Planologi bahwa harus menyusun dokumen rencana reklamasi. Dokumen rencana reklamasi itu artinya mulai dari SKPB (surat keputusan persetujuan berusaha, red) akan keluar, direncanakan, akan menambang di mana, mereklamasi di mana, terus sampai pada saat akhir.
“Evaluasi perusahaan tambang di seluruh Indonesia menunjukkan kepatuhan yang belum optimal. Saat ini sudah ada 127 tambang kita evaluasi. Ada luasan 3.000 hektare, yang dibuka, yang direklamasi berapa? 100 hektare saja. Artinya, hanya 3 persen yang direklamasi,” katanya.

Evaluasi, katanya melanjutkan, bertujuan mendorong perusahaan menjalankan kewajiban sesuai aturan dan standar KLH. Prosedur reklamasi juga harus memperhatikan aspek teknis lingkungan, termasuk pengelolaan tanah, vegetasi, dan pemulihan ekosistem.
“Kalau ada Tanah Kucunya dari hasil kajiannya, maka 75 persen harus dipisahkan, nanti untuk dikembalikan. Itu untuk dasar,” tambahnya.
KLH menegaskan peran aktif kementerian dalam pengawasan, termasuk melalui tim yang menilai reklamasi dan pelaksanaan kewajiban pemulihan lingkungan di kawasan hutan.
“Untuk kawasan hutan, siapapun yang di kawasan hutan, yang menilai adalah Kementerian Kehutanan. Jadi, ada timnya,” ujarnya.
Dia juga menekankan, setiap kegiatan tambang harus mengacu pada izin resmi dan dokumen lingkungan yang ada, termasuk kriteria kerusakan lingkungan yang terbaru diterbitkan, Permen LH Norma 20 Tahun 2025. Dengan begitu, perusahaan tambang dapat memastikan aktivitasnya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang melampaui ketentuan yang berlaku. (Tubagus)


























