NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Benarkan kesadaran perusahaan pertambangan dalam menjalankan kewajiban reklamasi dan penutupan tambang kurang? Isu tersebut belakangan ini mencuat seiring meningkatnya perhatian publik terhadap dampak lingkungan, standar keberlanjutan, dan tekanan global terhadap industri nikel nasional.
Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, masih banyak perusahaan yang memiliki pola pikir keliru terkait kewajiban pascatambang.

“Kebanyakan perusahaan merasa bahwa setelah membayar dana ke pemerintah. Mereka bisa meninggalkan lokasi begitu saja. Padahal, kewajiban reklamasi itu melekat pada perusahaan dan tidak bisa diabaikan,” kata Meidy pada Indonesia Mine Closure Conference (IMCC) 2025, di Soehana Hall, SCBD, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Dia menganalogikan, proses pemulihan lahan pascatambang sama seperti menangani tanaman yang sakit dengan memberikan obat terlebih dahulu.
“Kita harus obati dulu, beri ‘vitamin’, baru kemudian menentukan tanaman yang pas. Namun, semua kembali kepada kesadaran perusahaan,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, saat ini APNI sedang menyusun metodologi dan parameter untuk environment, social, and governance (ESG) standar Indonesia. Penyusunan standar ini dilakukan melalui diskusi dengan berbagai aliansi global, seperti IRMA, Nickel Institute, dan RMI, serta melibatkan pemangku kepentingan pemerintah.

“Metodologi penyusunan ESG di Indonesia tentu berbeda dengan negara lain. Kita butuh formula yang tepat dan sesuai dengan karakteristik industri nasional,” jelasnya.
Selain itu, ia turut menyoroti berbagai tudingan internasional terhadap industri nikel Indonesia, mulai dari isu oversupply yang menyebabkan harga turun hingga tudingan kerusakan lingkungan akibat tingginya produksi, termasuk dari sektor kimia dan mixed hydroxide precipitate (MHP). Hal ini menjadi momentum bagi seluruh pelaku industri untuk membenahi ekosistem pertambangan berkelanjutan di Indonesia.
“Tugas kita adalah memastikan semua kewajiban dilakukan secara user-friendly dan dapat diimplementasikan oleh perusahaan. Untuk itu, dukungan pemerintah dan seluruh stakeholder sangat dibutuhkan,” paparnya. (Uyun/R)


























