Beranda Berita Nasional Sekum APNI: Hilirisasi Bukan Sekadar Produksi, Tapi Nilai Tambah dan Keberlanjutan Industri

Sekum APNI: Hilirisasi Bukan Sekadar Produksi, Tapi Nilai Tambah dan Keberlanjutan Industri

208
0
Sekum APNI, Meidy Katrin Lengkey (Foto: Dok APNI)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah kembali menegaskan program hilirisasi nasional menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk mencapai target 8% pada 2029. Inisiatif ini tidak hanya memperkuat struktur industri domestik, tetapi juga menciptakan peluang luas bagi peningkatan lapangan kerja di berbagai sektor strategis..

Berdasarkan data terbaru, sektor hilirisasi mineral dan batu bara (minerba) berpotensi menyerap hingga 104.974 tenaga kerja pada 2025. Disusul hilirisasi kelautan dan perikanan dengan 67.100 orang, ketahanan energi 50.960 orang, transisi energi 29.650 orang, dan hilirisasi pertanian 23.950 orang. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia pun terus meningkat secara bertahap, dari 5,2% pada 2025, menjadi 6,3% pada 2026, 7,5% pada 2027, dan 8% pada 2029.

https://indonesiamineclosure.com/#buy-tickets

Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menegaskan, hilirisasi bukan hanya soal peningkatan volume produksi, tetapi juga soal nilai tambah dan keberlanjutan industri.

“Tujuan pemerintah melalui moratorium smelter baru adalah menjaga keseimbangan cadangan dan pasar agar rantai pasok nikel dari hulu ke hilir bisa terbentuk secara utuh di dalam negeri,” kata Meidy, dalam program Market Share yang disiarkan melalui kanal YouTube Idx Channel, Selasa (11/11/2025).

Namun, tantangan masih besar terutama bagi investor yang sudah beroperasi atau sedang membangun pabrik pengolahan. Sebagian dari investor tersebut saat ini harus menyesuaikan model bisnis agar dapat memproduksi hingga tahap akhir, seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), hingga material baterai EV yang membutuhkan tambahan investasi cukup besar.

Selain itu, ia juga menyoroti kebutuhan Indonesia terhadap mineral pendukung, seperti kromium, litium, dan grafit, yang masih harus diimpor untuk mendukung rantai pasok baterai kendaraan listrik. Ia menilai pemerintah perlu memperkuat kerja sama dengan negara-negara penghasil mineral tersebut untuk mengamankan pasokan jangka panjang.

“Kalau mau bangun industri baterai sampai end product, ya kita butuh bahan baku lain yang belum tersedia di dalam negeri. Ini harus jadi fokus dukungan pemerintah ke depan,” tuturnya.

Dia turut menekankan pentingnya peningkatan praktik pertambangan yang berkelanjutan dan mengingatkan bahwa industri nikel Indonesia masih menghadapi kritik global terkait isu lingkungan dan sosial.

“Kita diserang dengan isu dirty nickel. Jadi, sekarang bukan sekadar bicara kuantitas, tapi bagaimana kita memperbaiki praktik environment, social, and governance (ESG). Itu kuncinya agar produk nikel Indonesia bisa diterima pasar dunia,” katanya.

https://event.cnfeol.com/en/event/339

Tak hanya itu, ia juga mengatakan perlunya pengawasan ketat terhadap kewajiban perusahaan tambang, seperti jaminan reklamasi, rehabilitasi lahan, dan kepatuhan lingkungan. Menurutnya, langkah pemerintah membentuk Satgas Pengawasan merupakan upaya penting untuk memastikan industri berjalan sesuai prinsip keberlanjutan.

Sementara itu, menurutnya, hilirisasi memang mampu menggerakkan ekonomi regional, terutama di wilayah sekitar tambang dan smelter, seperti Maluku Utara, yang kini mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi secara nasional. Tetapi, ia menegaskan perlunya keseimbangan antara pembangunan industri dan kesejahteraan masyarakat lokal.

“Pertumbuhan ekonomi harus dilihat dari dampaknya terhadap masyarakat. Jangan sampai ada yang kehilangan mata pencaharian atau daya belinya menurun karena harga-harga naik,” ujarnya. (Uyun)