NIKEL.CO.ID, BANDUNG — Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno, menyoroti lemahnya kepastian hukum dan kompleksitas regulasi dalam pelaksanaan Sistem Informasi Manajemen Mineral dan Batu Bara (Simbara).
Hal itu disampaikan Djoko saat menghadiri Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Implementasi Simbara Komoditas Nikel, yang digelar pada Kamis (13/11/2025) di Hotel Novotel Bandung, Jalan Cihampelas No. 23–25, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/11/2025).

FGD tersebut diselenggarakan Direktorat Industri Logam Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai bagian dari upaya optimalisasi hilirisasi industri berbasis sumber daya alam (SDA) dan penguatan sinergi antarkementerian/lembaga dalam pemantauan penggunaan SDA melalui platform Simbara.
Dalam forum tersebut, Djoko menyampaikan kritik dan masukan tajam terkait berbagai peraturan yang dinilai belum berpihak pada pelaku usaha tambang, khususnya sektor nikel.
“Kepastian hukum dan jaminan berusaha masih sangat lemah. Kita diatur oleh regulator, tapi tidak pernah diajak berbicara bagaimana sebaiknya menjalankan regulasi yang diberikan,” ujarnya di hadapan peserta FGD.
Ia menilai, banyak perusahaan tambang kini kesulitan membayar kewajiban akibat tumpang-tindih kebijakan dan beban keuangan yang tinggi.
“Perusahaan-perusahaan mau bayar utang saja sudah susah. Ada kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) yang ditahan setahun. Pemerintah juga sudah mengambil sekitar 68% keuntungan perusahaan mineral. Belum lagi ada dana komando, dana koordinasi, dan lainnya,” jelasnya.
Menurutnya, langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah memperkuat data dan memperjelas hierarki regulasi agar tidak terjadi tumpang-tindih aturan.
“Pertegas dulu aturannya. Mau Perpres, Permen, atau Kepmen, harus jelas alurnya. Mana induk peraturan dan mana turunannya supaya tidak saling bertabrakan dalam interpretasi,” ujarnya.

Dia juga menyinggung persoalan harga pokok mineral dan batu bara yang menurutnya tidak realistis karena lebih tinggi dari harga pasar.
“Kalau harga pokok lebih tinggi dari harga pasar, bagaimana mau jualan? Ketika kami jual di bawahnya, malah dianggap merugikan negara. Kami tetap harus bayar royalti sesuai harga pokoknya. Ini sangat memberatkan,” katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola Simbara agar tidak hanya menjadi beban administratif.
“Governance itu harus transparan dan akuntabel. Hari ini hal itu belum sepenuhnya terjadi di pemerintahan. Data kami sebagai perusahaan harus dijadikan dasar yang kuat dalam sistem,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa para pelaku tambang kecil hingga menengah kini terhimpit oleh berbagai kewajiban, mulai dari royalti tinggi, beban pajak, biaya bahan bakar (BBM), hingga pajak global, dan DHE.
“Tambang sekarang tercekik. Pertama oleh royalti, kedua oleh BBM, ketiga oleh DHE, lalu pajak global, dan BPN. Kami hanya ingin hidup layak, bukan minta istimewa,” ucapnya.
Menutup pernyataannya, Djoko berharap pemerintah memperhatikan nasib para penambang kecil dan menengah yang menjadi tulang punggung industri nikel nasional.
“Kami hanya ingin diberi kesempatan untuk bertahan. Kami ingin membayar utang kami pada generasi berikutnya. Jadi mohon agar strategi nasional pemberantasan korupsi juga melihat realitas di lapangan,” tutupnya.
FGD ini dihadiri oleh perwakilan berbagai kementerian, asosiasi industri, dan pelaku usaha sektor tambang. Forum tersebut menjadi ajang evaluasi implementasi Simbara yang diharapkan dapat memperkuat tata kelola sektor pertambangan berbasis data dan transparansi. (Shiddiq)






















