NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Arah hilirisasi mineral kini tidak hanya berfokus pada nikel hingga timah, tetapi juga pada pengembangan logam tanah jarang (LTJ) sebagai bahan ikutan strategis dan efisien yang berperan penting dalam mendukung transisi energi dan kemandirian industri nasional.
Hal tersebut disampaikan Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq, dalam “Seminar Nasional Ikatan Alumni Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (IATG ITB)”, di Bandung, Sabtu (2/11/2025).
Julian menjelaskan, Indonesia memiliki potensi besar LTJ, baik dari sumber primer maupun hasil samping industri mineral, seperti bauksit, timah, dan nikel. Berdasarkan kajian, tailing dari industri tersebut mengandung LTJ dalam jumlah signifikan, mulai dari 150 ppm pada tailing nikel hingga 2.000 ppm pada tailing timah.
“Keuntungan LTJ dari tailing adalah tidak perlu eksplorasi baru, tinggal diolah atau diekstraksi. Ini jauh lebih efisien dan berpotensi besar bagi ekonomi nasional,” jelasnya sebagaimana dikutip dari laman Ditjen Minerba, Rabu (5/11/2025).

Menurutnya, arah tata kelola LTJ perlu ditetapkan dengan mempertimbangkan kondisi sumber daya, kapasitas teknologi, serta kepentingan nasional. Pemerintah juga tengah menyiapkan reformasi regulasi untuk memperkuat posisi LTJ sebagai mineral logam strategis di bawah kewenangan pemerintah pusat.
Regulasi baru tersebut merupakan tindak lanjut dari Permen ESDM No. 296 Tahun 2023 dan PP No. 39 Tahun 2025, yang memperkuat dasar hukum pengelolaan mineral kritis nasional. Dalam draf peraturan yang sedang disiapkan, badan usaha wajib melakukan eksplorasi lanjutan dalam dua hingga tiga tahun, jika tidak, wilayah izin akan dikembalikan kepada negara.
Selain aspek regulasi, dia memaparkan tujuh langkah strategis Ditjen Minerba untuk memperkuat pengembangan LTJ nasional, yaitu
1. Pengujian multi unsur sejak eksplorasi hingga pemurnian;
2. Pemanfaatan by-product, seperti tailing yang mengandung LTJ;
3. Penetapan LTJ sebagai komponen strategis dalam ekosistem industri nasional;
4. Penetapan LTJ sebagai industri prioritas nasional;
5. Adopsi konsep urban mining dan ekonomi sirkuler;
6. Penyediaan insentif fiskal dan kemudahan investasi; dan
7. Penguatan riset dan teknologi pemisahan LTJ.
Pria kelahiran Bandarlampung, 3 Juli 1975, itu juga menegaskan pentingnya hilirisasi mineral sebagai kunci transformasi ekonomi menuju negara maju. Melalui hilirisasi, nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja dapat meningkat signifikan. Ia mencontohkan, industri bauksit yang mempekerjakan 1.000 orang di sektor hulu bisa berkembang hingga 19.000 tenaga kerja jika menjadi industri aluminium terintegrasi.

Namun, ia mengingatkan bahwa hilirisasi memerlukan dukungan energi bersih dan teknologi efisien.
“Hilirisasi dan ketahanan energi harus dirancang beriringan, mengingat untuk mengonversi satu juta ton bauksit menjadi alumina dibutuhkan sekitar dua gigawatt energi,” ujarnya.
Menutup paparannya, ia menekankan perlunya penguatan riset dan kolaborasi lintas lembaga agar Indonesia tidak hanya menjadi produsen bahan mentah. Saat ini, riset LTJ telah dilakukan di tiga pilot plant: PT Timah, BBPMB Tekmira, dan BRIN.
“Ke depan, riset dan kolaborasi harus diperkuat agar Indonesia mampu menguasai teknologi pemisahan dan pengolahan LTJ secara mandiri,” tutupnya. (Shiddiq)


























