Beranda Ekonomi Indef Khawatir Indonesia Terjebak di Midstream

Indef Khawatir Indonesia Terjebak di Midstream

178
0
Direktur Kolaborasi Internasional Indef, Imaduddin Abdullah

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Memperkuat daya saing dan keberlanjutan merupakan hal penting dalam proses hilirisasi industri di Indonesia. Kedua hal itu menjadi kunci bagi keberhasilan hilirisasi di masa depan.

Hal itu diungkapkan Direktur Kolaborasi Internasional Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Imaduddin Abdullah, acara “Sarasehan 100 Ekonomi Indonesia”, di Jakarta, Selasa (28/10/2025).

“Tadi yang disampaikan oleh Pak Wamen saya pikir dua kata kunci yang sangat penting terkait competitiveness dan sustainability. Saya pikir terkait dengan hilirisasi di Indonesia saat ini, kita sudah masuk kepada satu babak penting yang mungkin 10 tahun lalu tidak kita bayangkan,” ujarnya.

Menurut Imaduddin, kemajuan hilirisasi mineral dalam satu dekade terakhir patut diapresiasi. Indonesia kini telah bertransformasi dari sekadar pengekspor bahan mentah nikel menjadi produsen utama baja nirkarat (stainless steel) yang menguasai pasar global. Namun, ia mengingatkan, perjalanan hilirisasi belum selesai.

“Ke depan tantangan kita adalah memastikan bahwa hilirisasi ini tidak berhenti di babak pertama saja. Perlu babak-babak selanjutnya yang lebih kompleks,” tambahnya.

Dia menjelaskan, pada tahap awal hilirisasi, khususnya di sektor mineral, daya saing masih banyak ditentukan oleh kandungan komoditas. Namun, semakin ke tahap hilir, peran komoditas akan berkurang dan digantikan oleh faktor-faktor lain, seperti teknologi, logistik, serta keberadaan ekosistem industri yang terintegrasi.

“Semakin ke hilir, commodity content itu semakin kecil. Akan banyak intermediate input, teknologi, dan logistik yang menentukan. Ini yang perlu dibangun agar ekosistem industri benar-benar terbentuk,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa tanpa pembangunan ekosistem industri yang kuat, Indonesia berisiko terjebak hanya pada tahap ekspor produk setengah jadi (midstream), bukan produk hilir bernilai tambah tinggi.

“Kita khawatir akhirnya Indonesia terjebak di ekspor midstream saja, tidak sampai ke downstream,” pungkasnya. (Shiddiq)