NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian, Dodiet Prasetyo, menegaskan bahwa hilirisasi nikel menjadi pendorong utama tumbuhnya investasi baru di sektor logam nasional, khususnya industri stainless steel.
“Pertumbuhan industri logam sampai dengan triwulan kedua tahun 2025 mencapai 14,91 persen. Ini lebih tinggi dari pertumbuhan industri nonmigas maupun industri nasional,” ujar Dodiet dalam acara Indonesia Stainless Steel Summit yang digelar INASSDA di Grand Mercure, Kemayoran, Jakarta, Selasa (21/10).
Ia menjelaskan, kinerja positif tersebut tidak terlepas dari masifnya investasi di sektor hilirisasi berbasis baja, besi, nikel, tembaga, dan aluminium. Saat ini, terdapat 73 smelter nikel yang telah beroperasi dan menjadi fondasi penting bagi pengembangan industri logam di dalam negeri.
Dodiet menambahkan, pemerintah mendorong agar produk turunan nikel tidak berhenti pada feronikel (FeNi) atau nickel pig iron (NPI), tetapi dikembangkan lebih lanjut menjadi stainless steel dan produk akhir bernilai tambah tinggi. Langkah ini, kata dia, penting agar nilai tambah dari sumber daya mineral Indonesia dapat dioptimalkan di dalam negeri.
“Rantai pasok baja stainless harus diikuti dengan diversifikasi pasar, seperti ke sektor otomotif, alat berat, dan pertahanan,” ujarnya.
Diversifikasi tersebut diharapkan mampu menciptakan permintaan baru di sektor hilir, memperluas lapangan kerja, serta mengurangi ketergantungan impor bahan baku industri logam tertentu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dari sisi rantai produksi, industri baja stainless di Indonesia saat ini sudah cukup berkembang, terutama pada jalur flat product, yang sudah mampu menghasilkan produk stainless steel sheet. Namun, untuk jalur long product, proses pengembangan masih terbatas pada produksi steel billet, yang sebagian besar masih diekspor.
“Ke depan, kita berharap akan ada investasi baru yang dapat mengolah steel billet menjadi round billet atau seamless pipe di dalam negeri, sehingga kebutuhan industri tidak perlu bergantung pada impor,” katanya.
Selain itu, Dodiet juga menyoroti pentingnya pengembangan industri baja karbon dan baja khusus untuk mendukung sektor strategis seperti otomotif, alat berat, pertanian, dan pertahanan. Menurutnya, produk baja khusus tersebut memiliki nilai tambah jauh lebih besar dibandingkan baja konstruksi yang saat ini mendominasi pasar domestik.
Sejalan dengan itu, ekspor produk baja nasional juga menunjukkan peningkatan signifikan. Beberapa waktu lalu, Menteri Perindustrian melepas ekspor baja lapis ke Kanada dan Amerika Serikat, disusul ekspor produk cold rolled coil (CRC) oleh PT Krakatau Steel ke Spanyol.
Dodiet menilai capaian tersebut menjadi bukti bahwa produk baja Indonesia telah diakui di pasar global, sekaligus menunjukkan keberhasilan kebijakan hilirisasi nikel dalam memperkuat daya saing industri logam nasional. (Tubagus)


























