

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – PT Harita Nickel menegaskan komitmennya terhadap praktik pertambangan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan dalam Focus Group Discussion (FGD) Breakout Room C bertema “Keberlanjutan dan Pelestarian Lingkungan Pertambangan” di ajang Minerba Convex 2025. Acara ini digelar di Jakarta International Convention Center (JICC), Senayan, Kamis (16/10/2025).
Direktur Health, Safety, and Environment (HSE) Harita Nickel, Tonny Gultom, tampil sebagai pembicara pada hari kedua atau hari terakhir penyelenggaraan forum tersebut. Dalam paparannya, Tonny menjelaskan berbagai strategi perusahaan dalam menerapkan praktik terbaik (best practice) pengelolaan lingkungan yang sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan efisiensi proses hilirisasi.
“Pertambangan saat ini tidak bisa sekadar menambang. Kita harus memikirkan keberlanjutan dari hulu ke hilir, termasuk pengelolaan lingkungan, reklamasi, hingga strategi dekarbonisasi,” ujar Tonny Gultom di hadapan peserta FGD.
Tonny mengungkapkan bahwa kegiatan Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, mencakup proses penambangan dan hilirisasi terpadu, yang memanfaatkan dua jenis bijih nikel: saprolit dan limonit. Di kawasan tersebut, perusahaan mengoperasikan lima pabrik, termasuk fasilitas High Pressure Acid Leaching (HPAL) dan Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF).
HPAL digunakan untuk mengolah limonit sebagai bahan baku precursor baterai kendaraan listrik, sementara RKEF mengolah saprolit untuk menghasilkan bahan baku stainless steel. Tonny menyatakan bahwa sejak 2021, Harita menjadi pionir dalam pemanfaatan limonit untuk baterai kendaraan listrik di Indonesia.
“Ini bagian dari upaya kami menjalankan prinsip efisiensi penambangan. Sekali tambang, dua jenis bijih langsung masuk ke pabrik sesuai jenisnya. Dengan begitu, shipping ratio bisa ditekan,” jelasnya.

Harita Nickel mengedepankan tiga pilar keberlanjutan dalam operasionalnya, yaitu climate change, good governance, dan human rights. Prinsip dasar operasional perusahaan berorientasi pada “zero harm to people, zero major environmental incident, dan compliance terhadap regulasi,” ungkap Tonny.
Namun demikian, menurutnya, keberlanjutan tidak cukup jika hanya mengikuti regulasi. Perusahaan juga harus melangkah lebih jauh dengan pendekatan beyond compliance, mengingat lebih dari 62% pasokan nikel dunia berasal dari Indonesia.
“Pasar global menuntut lebih dari sekadar kepatuhan. Kita harus punya standar dan inisiatif lebih tinggi,” tegasnya.
Tonny juga menyoroti pentingnya pengelolaan air di kawasan tambang nikel yang cenderung memiliki curah hujan tinggi. Harita Nickel telah membangun sistem pengelolaan air terpadu mulai dari drainase upstream, check dam, hingga kolam sedimentasi.
Dalam hal pengelolaan limbah, perusahaan memilih pendekatan positif dengan menyebutnya sebagai SHP (Sisa Hasil Produksi), bukan limbah. Salah satu bentuk pemanfaatan SHP yang dilakukan Harita adalah mengolah slag nikel menjadi batako, material jalan, dan bahkan terumbu buatan (artificial reef).
“Jika kita melihat sisa produksi sebagai sumber daya, maka akan muncul solusi dari sisi teknologi, lingkungan, dan ekonomi,” kata Tonny.

Dalam sesi tersebut, Tonny juga menyinggung soal reklamasi yang menjadi bagian penting dari tanggung jawab perusahaan. Ia menekankan bahwa jaminan reklamasi bukan hanya soal dana, tetapi juga komitmen untuk mengembalikan lahan pasca-tambang.
Harita Nickel juga melakukan studi identifikasi keanekaragaman hayati dalam radius hingga 50 km dari area proyek, untuk memastikan tidak ada kawasan dengan critical habitat yang terdampak. Studi ini merujuk pada standar internasional seperti IFC Performance Standard 6.
“Ini adalah bagian dari pendekatan beyond compliance. Tidak cukup hanya melihat lingkup UB (Usaha Pertambangan), tapi juga ekosistem di sekitarnya,” jelas Tonny.

Tonny menutup paparannya dengan menyampaikan keyakinan bahwa Indonesia mampu mengembangkan rantai pasok industri baterai secara menyeluruh, dari pengolahan nikel hingga produksi battery cell dan pack. Saat ini, Harita Nickel telah memproduksi nickel sulfate dan cobalt sulfate, dan mendukung pembangunan fasilitas precursor baterai di masa mendatang. (Shiddiq)