Beranda Berita Nasional Ditjen Minerba: Dari 4.500 Izin Tambang, Hanya 10% Perusahaan yang Paham ESG

Ditjen Minerba: Dari 4.500 Izin Tambang, Hanya 10% Perusahaan yang Paham ESG

85
0
Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Siti Sumilah Rita Susilawati. Foto: MNI/Tubagus Rachmat

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa dari sekitar 4.500 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) di Indonesia, kurang dari 10% yang memahami dan menerapkan prinsip environmental, social, and governance (ESG) dalam operasionalnya.

Sekretaris Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilawati, mengatakan sebagian besar perusahaan yang memahami ESG berasal dari kalangan perusahaan besar. Sementara itu, mayoritas perusahaan tambang skala kecil masih belum memiliki pemahaman yang memadai terhadap aspek keberlanjutan tersebut.

“Sebagai gambaran, kita punya 4.500 izin usaha pertambangan. Barangkali yang memahami aspek ESG itu kurang dari 10%, yang besar-besar. Sisanya adalah izin usaha pertambangan yang kecil-kecil, yang bahkan nggak paham. Itu tantangan kita,” ujar Siti, Selasa (14/10/2025).

https://minerbaexpo.com/

Menurut Siti, penerapan prinsip-prinsip ESG pada subsektor pertambangan minerba dibutuhkan untuk pengendalian dampak terhadap lingkungan dan sosial. Ia menekankan bahwa penerapan ESG merupakan tantangan sekaligus peluang bagi keberlanjutan usaha dan peningkatan daya saing sektor pertambangan di Indonesia.

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menilai bahwa pemerintah perlu membuat payung hukum khusus untuk mempercepat penerapan ESG di sektor tambang. Ia menegaskan, regulasi tersebut penting agar perusahaan memiliki kewajiban yang jelas dalam menjalankan prinsip keberlanjutan.

“Karena ESG ini harus diatur dalam aturan, regulasi. Karena kenapa? Berbicara punishment, berbicara sanksi, dan berbicara kewajiban. Itu saja sih. Jadi kita lagi kasih masukan ke pemerintah, mudah-mudahan bisa selesai,” ucap Meidy.

Meidy menambahkan bahwa penerapan ESG di Indonesia perlu disesuaikan dengan kondisi nasional, namun tetap dapat diterima oleh pasar internasional.

Sementara itu, Chief Executive Officer Landscape Indonesia, Agus Sari, menyampaikan bahwa posisi nikel dalam struktur ekonomi nasional semakin penting, seiring dengan peningkatan investasi dan ekspor komoditas tersebut.

“Perlu dilihat apakah pertumbuhan ekonomi dari nikel ini menyejahterakan masyarakat. Dengan aliran investasi sebesar ini, berapakah yang benar-benar dinikmati Indonesia?” kata Agus.

Ia menilai bahwa dampak ekonomi pertambangan nikel tidak bisa hanya diukur dari pertumbuhan atau ekspor, tetapi juga dari sejauh mana masyarakat sekitar tambang memperoleh manfaat ekonomi jangka panjang.

“Korporasi pengelola tambang dan pemerintah perlu memastikan bahwa operasional tambang yang telah berhenti tidak menimbulkan masalah ekonomi-sosial baru,” ujar Agus.

Dengan potensi besar yang dimiliki, Indonesia dinilai memiliki peluang untuk menjadi pusat industri nikel berkelanjutan dunia. Namun, tanpa penerapan ESG yang menyeluruh, posisi strategis itu berisiko kehilangan legitimasi di pasar global yang semakin menuntut praktik hijau. (Tubagus)