
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Industri fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel jenis rotary kiln electric furnace (RKEF) di Indonesia menghadapi tekanan akibat tingginya biaya produksi. Kondisi ini menurunkan daya saing, terutama di tengah fluktuasi harga nikel global dan meningkatnya impor dari Filipina, sehingga banyak smelter kecil hingga menengah kesulitan mempertahankan produksinya.
Hal itu disampaikan oleh Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno Soewanto, dalam Focus Group Discussion (FGD) Ikatan Alumni Tambang (IAT) Institut Teknologi Bandung (ITB), di J.S. Luwansa Hotel & Convention Center, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
“Kemudian biaya-biaya smelter RKEF sudah tidak bisa berkompetisi karena sangat mahal. Illegal mining, walaupun kemarin sudah diumumkan beberapa yang disetop, pada kenyataannya masih ada dan ini yang perlu ditindaklanjuti,” ungkap Djoko.
Karenanya, dia menekankan perlunya inovasi dan penyesuaian strategi untuk menghadapi tantangan biaya produksi tinggi.
“Untuk 40 tahun ke depan dalam mencapai negara industri, seperti di Asta Cita, mungkin perlu dilakukan inovasi-inovasi yang kita bisa lakukan dan intinya mengambil milis ATM, ambil, tiru ,dan membuat. Sehingga, produk setengah jadi kita bisa diserap dalam industri dalam negeri. Nah yang dilakukan oleh APNI dan usulannya adalah memang kita harus merevisi HPM, disesuaikan dengan pasar dan juga mulai memasukkan mineral ikutan di dalam pengenalan royale seperti kobalt.” katanya.
Djoko menilai langkah-langkah ini penting agar smelter RKEF di Indonesia dapat tetap bersaing di pasar global dan memaksimalkan nilai tambah dari produk nikel dalam negeri. Ia juga menekankan perlunya sinergi antara asosiasi, pemerintah, dan industri untuk membangun citra positif serta keberlanjutan industri nikel. (Tubagus)