
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara tujuan investasi hijau dari Tiongkok, menurut laporan terbaru bertajuk “China’s Green Leap Outward” yang dirilis oleh Net Zero Industry Policy Lab. Posisi strategis ini didorong oleh pesatnya investasi Tiongkok di sektor nikel, prekursor baterai, dan manufaktur panel surya di Tanah Air.
Laporan tersebut mencatat bahwa perusahaan-perusahaan Tiongkok telah menggelontorkan investasi luar negeri di sektor manufaktur hijau hingga mencapai US$227 miliar, bahkan mendekati US$250 miliar secara global. Angka ini melampaui nilai historis Marshall Plan Amerika Serikat yang setara US$200 miliar (dalam dolar 2024).
“Perusahaan Tiongkok tengah melakukan ekspansi. Namun, apakah megaproyek industri hijau ini membawa hasil pembangunan positif atau sekadar menjadikan negara tuan rumah sebagai ‘pulau manufaktur’ sangat bergantung pada pilihan kebijakan domestik,” ujar Co-director Net Zero Industry Policy Lab. Johns Hopkins, Tim Sahay, dari keterangan pers yang diterima nikel.co.id, Jumat (3/10/2025).
“Negara-negara tujuan perlu merencanakan, mendanai, dan melaksanakan kebijakan industri hijau serta bernegosiasi keras dengan perusahaan Tiongkok demi mencapai prioritas pembangunan berkelanjutan,” lanjut Sahay.
Investasi terbesar Tiongkok di sektor hijau luar negeri saat ini berada di bidang material baterai, dengan komitmen proyek senilai lebih dari US$62 miliar hingga 2025. Sebagian besar dari investasi tersebut terpusat di kawasan ASEAN, khususnya Indonesia, yang dikenal memiliki cadangan nikel dan kobalt melimpah. Perusahaan seperti CNGR, Huayou Cobalt, dan GEM telah memusatkan operasinya di Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga disebut sebagai “titik panas” baru dalam rantai pasok global industri hijau, bersanding dengan Maroko (untuk katode dan hidrogen), serta negara-negara Teluk (untuk manufaktur modul surya dan elektroliser). Meski Eropa dan Amerika Serikat masih menarik proyek-proyek bernilai tinggi, tren peningkatan hambatan perdagangan membuat aliran modal mulai bergeser ke wilayah seperti Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika Utara, hingga Amerika Latin.
Namun di balik angka-angka investasi tersebut, sejumlah tantangan turut mengemuka. Naomi Devi Larasati, policy strategist di organisasi Cerah, mengingatkan bahwa investasi Tiongkok di Indonesia tidak sepenuhnya bebas dari masalah.
“Tiongkok memang pemain besar di sektor energi terbarukan. Kolaborasi dengan Tiongkok adalah langkah wajar untuk mempercepat transisi energi Indonesia. Tetapi, kita juga harus jujur bahwa investasi Tiongkok selama ini kerap diwarnai persoalan lingkungan dan sosial di lapangan,” kata Naomi.
Data dari lembaga Trend Asia mencatat setidaknya 93 kecelakaan kerja di industri nikel Indonesia sepanjang 2015–2023, termasuk 21 korban jiwa di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS). Sementara itu, PLTU captive milik PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHI) juga dilaporkan menyebabkan pencemaran udara yang memicu peningkatan kasus ISPA dari 735 kasus pada 2021 menjadi lebih dari 1.100 kasus pada 2023.
Ia menegaskan pentingnya komitmen terhadap standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam setiap proyek investasi.

“Isu-isu ini perlu ditangani jika ingin terus melanjutkan investasi Tiongkok di sektor mineral kritis dan baterai nikel. Investasi ini harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat lokal, bukan hanya keuntungan ekonomi jangka pendek. Itu mencakup penciptaan lapangan kerja, alih teknologi, peningkatan keterampilan lokal, dan perlindungan lingkungan,” tambahnya.
Laporan Net Zero Industry Policy Lab juga merekomendasikan agar negara-negara penerima investasi memanfaatkan keunggulan sumber daya—seperti mineral kritis dan energi terbarukan—untuk menegosiasikan transfer teknologi, nilai tambah lokal, dan perlindungan lingkungan sebagai bagian dari strategi industri hijau yang berkelanjutan. (Shiddiq)