Beranda Berita Nasional APNI Soroti Tantangan Penambang Nikel: HPM, Harga Global Turun, hingga Impor Filipina

APNI Soroti Tantangan Penambang Nikel: HPM, Harga Global Turun, hingga Impor Filipina

64
0
Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno Soewanto. Foto: MNI/Tubagus Rachmat

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Penambang nikel saat ini sedang menghadapi sejumlah persoalan yang membelit, mulai darai dampak harga patokan mineral (HPM), penurunan harga nikel dunia, hingga derasnya impor bijih nikel dari Filipina yang membuat pembang kecil dalam negeri semakin tertekan.

Hal itu diungkap Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno Soewanto, dalam Focus Group Discussion (FGD) Ikatan Alumni Tambang (IAT) Institut Teknologi Bandung (ITB), di J.S. Luwansa Hotel & Convention Center, Jakarta, Kamis (2/10/2025).

“Kalau kita lihat, pendapatan dari perusahaan tambang itu sudah merah-merah semua. Dan, kalau HPM tidak diubah, mungkin akan semakin banyak masalah yang dihadapi penambang,” ujar Djoko.

Ia menambahkan, kondisi produksi nikel nasional saat ini juga sedang mengalami tekanan. Penurunan harga tersebut berdampak pada kesulitan perusahaan anggota APNI dalam memasok ke smelter.

“Perusahaan anggota kami yang memasok ke smelter-smelter juga mengalami kesulitan menjual bijih nikelnya karena mereka mencari barang murah. Dan, ternyata sekarang banyak impor dari Filipina, sehingga tambang-tambang kecil kita mulai berjatuhan,” ungkapnya.

Selain itu, ia mengingatkan bahwa penambang nikel dihadapkan pada tantangan berbeda dibandingkan dengan komoditas lain, seperti batubara. Sejak 1 Januari 2022, penambang nikel sudah tidak diperbolehkan mengekspor mineral mentah, sehingga ruang gerak semakin terbatas.

“Kami sudah tidak boleh ekspor mineral sejak 1 Januari 2022. Jadi, masalahnya tidak serumit batu bara, tapi kondisi ini membuat kami bingung dengan adanya dua izin yang dikeluarkan pemerintah, yaitu izin stand loan yang menyerap dari tambang, kemudian yang terintik-rintik yang punya tambang,” paparnya.

Ia juga merujuk pada pandangan akademisi, salah satunya Prof. Irwandi, yang pernah menyampaikan bahwa kebijakan HPM yang terlalu tinggi justru menekan pendapatan perusahaan tambang. Menurutnya, jika HPM tidak ditinjau ulang, penambang nikel akan semakin sulit bertahan. (Tubagus)