
NIKEL.CO.ID, BALI — Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya terhadap hilirisasi sumber daya alam dalam Internasional Critical Mineral and Materials Summit (ICMMS) 2025 yang digelar Fastmarkets bekerja sama Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), di Jimbaran, Bali, 24-26 Septembet 2025.
Forum ini menghadirkan para pelaku industri mineral global, mulai dari produsen, pembeli (buyer), pedagang (trader), hingga investor dari berbagai negara.
Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi /BKPM, Todotua Pasaribu, menjelaskan bahwa Indonesia tidak lagi ingin menjadi eksportir bahan mentah, melainkan ingin memastikan seluruh proses pengolahan dilakukan di dalam negeri.
“Hari ini kami dari Kementerian Investasi dan Hilirisasi hadir dalam forum Internasional Critical Mineral and Materials Summit yang diinisiasi oleh Fastmarkets bekerja sama dengan kami. Forum ini dihadiri oleh para player di industri mineral: produsen, pembeli, pedagang, hingga pelaku pasar,” ujar Todotua Pasaribu kepada media di sela-sela acara.
Menurut Todotua, hilirisasi menjadi strategi penting dalam mendukung transisi energi menuju energi hijau dan terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya (solar power plant) dan baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
“Kita tahu bahwa green energy, seperti solar power dan EV battery membutuhkan mineral kritis, seperti silika, nikel, dan kobalt, yang semuanya kita miliki. Oleh karena itu, kita perlu mengembangkan industri ini sebagai persiapan menuju transisi energi bersih,” tegasnya.
Forum dimaksudkan untuk menyatukan pemahaman para pelaku industri global tentang arah kebijakan pemerintah Indonesia di sektor mineral dan hilirisasi.
“Tujuannya agar semua player industri mineral, baik produsen, pembeli, maupun trader, memiliki pemahaman yang sama terkait arah kebijakan Indonesia. Baik dari sisi regulasi, fiskal, hingga strategi investasi. Ini penting agar para investor tahu bahwa investasi mereka akan dikawal dengan baik,” jelasnya.
Menanggapi kekhawatiran bahwa kebijakan hilirisasi dan kewajiban pengolahan dalam negeri bisa menghambat investasi, ia menegaskan sebaliknya.
“Itu tidak akan menghambat. Justru kita kawal agar investasi nyaman. Yang penting produk yang dihasilkan punya daya saing. Kita juga dorong percepatan perizinan, kebijakan fiskal yang mendukung, dan iklim investasi yang kompetitif,” tambahnya.
Terkait perjanjian Indonesia–US Critical Minerals Agreement (IUSEPA), Todotua menegaskan bahwa akses terhadap sumber daya alam tetap dibuka untuk asing, namun proses pengolahan harus tetap dilakukan di Indonesia.
“Kesepakatan IUSEPA membuka akses terhadap sumber daya kita, tapi prosesnya harus tetap di sini. Minimal dari bentuk inti sampai bahan mentahnya tetap diproses di Indonesia,” ujarnya.
Sejumlah negara telah menunjukkan minat serius berinvestasi di sektor hilirisasi mineral Indonesia. Negara dengan investasi terbesar sejauh ini adalah Tiongkok, diikuti oleh Jepang, Korea Selatan, Prancis, dan Amerika Serikat.
“Kalau bicara volume investasi terbesar di hilirisasi, memang Tiongkok yang paling besar. Tapi juga ada Jepang, Korea, Prancis, hingga Amerika, misalnya Freeport, itu grup dari Amerika. Melalui forum ini, kita juga dorong pelaku industri dari Eropa dan Amerika untuk masuk,” ujarnya.
Mineral kritis, seperti nikel, bauksit, tembaga, dan emas, memiliki potensi besar sebagai bahan baku produk strategis global. Namun, tantangan utama dalam hilirisasi adalah kebutuhan teknologi canggih dan dukungan pembiayaan (financial partner).
“Tantangannya adalah bagaimana kita masuk ke industri proses. Kita butuh advanced technology, butuh mitra keuangan. Maka dari itu, industri ini kita buka untuk investor global,” ujarnya menutup sesi.
Forum ICMMS menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menegaskan posisinya dalam rantai pasok global mineral kritis. Kebijakan hilirisasi tidak hanya untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri, tetapi juga sebagai bagian dari komitmen terhadap ekonomi hijau dan keberlanjutan. (Shiddiq/Tubagus)