
NIKEL.CO.ID, JIMBARAN, BALI — Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menegaskan bahwa Indonesia telah menjadi kekuatan dominan dalam industri nikel global dengan menguasai sekitar 64% produksi nikel dunia.
Pernyataan itu disampaikan Meidy dalam sesi diskusi pada hari terakhir International Critical Mineral and Metals Summit 2025 (ICMMS 2025) yang digelar di Intercontinental Resort Hotel, Jimbaran, Bali, Jumat (26/9/2025).

Dalam sesi bertema “Pusat Kekuatan Nikel Indonesia: Pertumbuhan Industri, Permintaan Global, dan Masa Depan yang Lebih Hijau”, ia menjawab pertanyaan dari moderator Team Leader Fastmarket Asia, Sybil Pan, terkait arah kebijakan hilirisasi Indonesia pasca-2025 dan peluang maupun tantangan strategis yang dihadapi industri.
“Saya bisa mengatakan bahwa kita adalah kisah sukses dalam pengolahan nikel secara global. Saat ini, Indonesia memiliki 424 perusahaan tambang nikel dan 163 fasilitas pengolahan, termasuk 55 yang telah beroperasi secara aktif di sektor pirometalurgi, HPAL, dan lainnya. Hanya dalam waktu lima tahun sejak 2020, kita telah menguasai sekitar 64% produksi nikel dunia,” ujar Meidy dalam forum tersebut.

Namun, Meidy juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait keberlanjutan sumber daya dan konsistensi regulasi yang dinilai krusial untuk menjaga momentum investasi, khususnya dalam sektor hilir bernilai tinggi.
“Kami selalu mendorong pemerintah untuk menyusun regulasi yang benar-benar mendukung investasi hilir. Bukan hanya untuk produk baja tahan karat, tetapi juga untuk industri baterai dan lainnya. Konsistensi kebijakan sangat penting agar investor, baik asing maupun lokal, punya rasa percaya untuk menanamkan modal mereka,” jelasnya.

Menurut dia, keberhasilan Indonesia menarik investasi di sektor hulu dan menengah perlu segera dilengkapi dengan kebijakan yang mampu menstimulasi perkembangan rantai pasok lengkap, termasuk industri baterai sebagai bagian dari transisi energi hijau.
“Saya tidak menyalahkan pemerintah, tetapi kita perlu berpikir realistis tentang bagaimana menciptakan nilai tambah. Jika regulasi terus berubah dan membingungkan, perusahaan akan kesulitan untuk beradaptasi. Pendapatan negara dari sektor ini tentu akan ikut terhambat,” tegasnya.

Ia juga menyoroti adanya kebijakan yang dinilai tiba-tiba, seperti tarif dan pembentukan tim tugas yang tidak selalu dikomunikasikan dengan baik ke pelaku industri.
“Kadang-kadang, kita terkejut dengan kebijakan yang muncul mendadak. Kita perlu stabilitas agar industri bisa tumbuh dan memberikan kontribusi nyata, baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan,” katanya.

ICMMS 2025 sendiri merupakan forum internasional strategis yang mempertemukan para pemangku kepentingan industri mineral dan logam kritis, dengan fokus pada nikel sebagai komoditas utama. Indonesia, sebagai produsen nikel terbesar dunia, menempati posisi sentral dalam diskusi terkait masa depan kendaraan listrik, transisi energi, serta stabilitas rantai pasok global. (Shiddiq/Tubagus)