Beranda Berita International ICMMS 2025: Akses Pendanaan Hijau Jadi Sorotan di Sektor Pertambangan

ICMMS 2025: Akses Pendanaan Hijau Jadi Sorotan di Sektor Pertambangan

48
0

NIKEL.CO.ID, BALI — Akses terhadap pendanaan hijau dan pembiayaan berkelanjutan menjadi sorotan utama dalam diskusi para pemimpin industri pertambangan dalam International Critical Mineral and Metals Summit 2025 (ICMMS 2025) di Intercontinental Resort Hotel, Jimbaran, Bali, Kamis (25/9/2025).

Forum ini melibatkan pemangku kepentingan dari dalam dan luar negeri.Berbagai tantangan, mulai dari kebijakan hingga keterbatasan data dan informasi, dinilai menghambat transisi sektor pertambangan menuju praktik yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sesi diskusi yang diselenggarakan Fastmarket tersebut dipandu Vice Chairman Djakarta Mining Club, Ben Lawson, yang mempertemukan sejumlah tokoh penting dari institusi pertambangan nasional dan internasional.

Diskusi ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan kolaborasi lintas sektor untuk membuka akses terhadap pendanaan hijau dan menciptakan ekosistem yang mendukung investasi berkelanjutan. Ben Lawson membuka diskusi dengan menyoroti perkembangan proyek dan ekspansi industri pertambangan serta peluang pembiayaan hijau di Indonesia.

“Apakah Anda bisa mendapatkan seseorang di sini yang dapat memperoleh pendanaan hijau atau mempertimbangkan pendanaan hijau?” tanya Ben membuka diskusi.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Kebijakan Publik dan Keberlanjutan Nickel Institute, Dr. Mark Mistry, menjelaskan bahwa tren pembiayaan berkelanjutan saat ini sedang berkembang di berbagai yurisdiksi global, termasuk Uni Eropa dan Brasil.

“Kita sering melihat Uni Eropa memimpin hal-hal ini, tetapi juga mengembangkan blueprint untuk wilayah lain. Saat ini sedang dikembangkan taksonomi keuangan berkelanjutan, yang bertujuan untuk mengklasifikasikan sektor dan perusahaan yang dianggap berkelanjutan,” ujar Mark.

Menurut Direktur Jenderal Cobalt Institute, Dinah Mcleod, masalah utama bukan hanya pada akses pendanaan hijau, tetapi akses pendanaan secara umum.

“Yang sering saya dengar dari anggota saya adalah akses ke keuangan apa pun akan baik, terima kasih sangat banyak,” katanya.

Ia menekankan, transisi industri membutuhkan dukungan pendanaan awal dan insentif dari pemerintah, seperti jaminan negara atau mekanisme pembiayaan campuran, untuk memudahkan aliran modal ke proyek-proyek strategis. Dinah juga mengkritik lambatnya proses birokrasi dalam pembukaan akses pendanaan di Eropa dan menyoroti kurangnya data dan informasi yang menjadi hambatan besar, terutama di negara berkembang.

“Seseorang membutuhkan satu atap untuk berbisnis. Akses ke data di Afrika, kami tidak bisa mendapatkannya. Untuk Kenya saja, saya harus pergi ke perpustakaan di London,” tuturnya prihatin.

alam konteks nasional, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menyoroti pentingnya skema pembiayaan campuran dan pembagian risiko untuk mendukung pendanaan proyek pertambangan. Ia juga menyinggung peran bank milik negara yang dinilai belum cukup progresif dalam mendukung sektor ini.

“Saya ingin dapat melihat tenor yang lebih baik, suku bunga yang lebih baik. Mereka tidak beroperasi seperti bank. Orang membiayai proyek dari bank Indonesia karena mindset-nya belum ada,” ujarnya.

Ia juga mengkritik kebijakan retensi ekspor yang mengharuskan eksportir menahan 100% devisa hasil ekspor, yang dinilai justru menghambat perputaran modal dan investasi.

Diskusi tersebut mencerminkan pentingnya kebijakan fiskal dan keuangan yang lebih adaptif untuk mendukung transformasi sektor pertambangan menuju praktik yang lebih berkelanjutan. Keterlibatan pemerintah dalam memberikan insentif dan menciptakan ekosistem yang inklusif dinilai krusial dalam menarik pendanaan internasional dan mendorong inovasi hijau.

Para pembicara sepakat bahwa kolaborasi publik-swasta, insentif pemerintah, dan penyediaan data yang transparan merupakan kunci untuk mempercepat investasi hijau.

“Bisakah saya meminjam kembali uang saya sendiri?” ujar Hendra dengan nada retoris, menggambarkan tantangan regulasi yang dihadapi para pelaku usaha tambang di dalam negeri.

Diskusi ini menunjukkan bahwa tanpa reformasi kebijakan dan dukungan konkret dari pemerintah, peluang besar untuk memanfaatkan pendanaan hijau bisa terlewatkan. (Shiddiq/Tubagus)