NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah terus mempercepat transisi energi hijau melalui pengembangan teknologi fotovoltaik (teknologi yang mengubah cahaya matahari menjadi energi listrik). Hal itu disampaikan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, pada acara Kumparan Green Intiative Conference 2025 yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta, 17-18 September 2025.
“Fotovoltaik menjadi salah satu kunci transisi energi karena bisa dikembangkan dari hilirisasi silika. Ada dua jalur, yakni dari silika hingga floating glass untuk panel surya dan dari silika ke smelter hingga menjadi wafer serta sel fotovoltaik. Produk ini nantinya juga bisa diarahkan untuk semikonduktor,” kata Airlangga, Rabu (17/9/2025).
Saat ini, katanya melanjutkan, sudah ada lima perusahaan dalam negeri yang bergerak di sektor assembling, testing, dan packaging dengan kapasitas mencapai 5 gigawatt (GW). Ia menyatakan, Ppresiden menargetkan pemanfaatan fotovoltaik dapat menjangkau hingga 80 ribu desa sebagai bagian dari percepatan pencapaian netral karbon (carbon neutral).
“Bapak Presiden minta agar 80 ribu desa bisa dialiri melalui fotovoltaik karena ingin mempercepat netral karbon kita,” ujarnya.
Dalam tiga hingga empat tahun ke depan, pemerintah menargetkan terbentuknya ekosistem energi baru berbasis baterai. Langkah ini diharapkan mengurangi ketergantungan pada energi fosil sekaligus mendorong pemanfaatan mineral strategis, seperti nikel, kobalt, dan mangan, untuk mendukung pengembangan baterai dan energi terbarukan.
Selain fotovoltaik, pemerintah juga menjajaki pengembangan small modular reactor (SMR) bekerja sama dengan Amerika Serikat dan Jepang. Teknologi reaktor modular berkapasitas 70 MW ini dinilai lebih efisien karena dapat dibangun dalam waktu relatif singkat, sekitar empat tahun.
Pemerintah juga menyiapkan strategi carbon capture and storage (CCS) sebagai respons terhadap kebijakan carbon border adjustment mechanism (CBAM) yang akan diterapkan Uni Eropa. Sejumlah perusahaan energi global, seperti BP dan ExxonMobil, sudah berkomitmen berinvestasi di Indonesia dengan nilai mencapai US$15 miliar dalam 3–5 tahun mendatang.
Tidak hanya sektor energi, akselerasi ekonomi hijau juga diarahkan pada pengembangan kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK). Energi fotovoltaik akan dimanfaatkan untuk mendukung industri nikel hijau, proyek pengolahan sampah di lebih dari 30 daerah, hingga penyediaan energi untuk pusat data (data center) di Batam yang juga berpotensi mengekspor energi ke Singapura dan Malaysia.
Di sisi lain, pemerintah menyoroti kebutuhan energi besar untuk sektor digital, khususnya data center dan kecerdasan buatan (artificial intellegence/AI). Untuk itu, ekosistem semikonduktor di Indonesia juga akan terus dikembangkan agar mendukung pertumbuhan ekonomi digital nasional.
Dengan dukungan pembiayaan dari skema just energy transition partnership (JETP) serta program kolaborasi dengan Jepang melalui ASEAN Zero Emission Community, pemerintah optimistid transisi energi hijau dapat berjalan lebih cepat.
“Teknologi semakin affordable, deliverable semakin cepat. Dengan kekuatan sumber daya alam yang ada, kita optimistis Indonesia mampu menjadi pemain utama dalam ekosistem energi hijau dan digital,” tegas Airlangga. (Uyun)