

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Institute for Essential Services Reform (IESR) kembali menggelar Indonesia Solar Summit (ISS) 2025 sebagai bagian dari upaya mendorong percepatan pemanfaatan energi surya di Indonesia.
Acara tahunan yang memasuki tahun keempat ini menjadi semakin strategis karena merupakan yang pertama di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
“ISS tahun ini terasa istimewa karena pertama kalinya dilaksanakan di era kepemimpinan Prabowo-Gibran,” ujar CEO IESR, Fabby Tumiwa, dalam pidato pembukaannya, Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

Fabby menjelaskan, ada tiga tujuan strategis pelaksanaan ISS 2025. Pertama, mempercepat transisi energi dengan memanfaatkan potensi besar energi surya.
“Energi surya adalah kunci untuk mewujudkan mimpi besar Indonesia 100% listrik dari energi terbarukan pada 2040, seperti visi presiden yang disampaikan dalam nota keuangan di DPR,” tegasnya.
Kedua, menjadikan energi surya sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, transisi energi seharusnya tidak hanya soal pengurangan emisi, tetapi juga menjadi peluang ekonomi baru.

“Dengan membangun industri panel surya dari hulu ke hilir, kita bisa menciptakan jutaan lapangan kerja baru, menambah pendapatan masyarakat, dan membuka sektor ekonomi yang lebih inovatif,” ungkapnya.
Ketiga, menjadikan ISS sebagai platform kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, investor, akademisi, dan masyarakat.
“Transisi energi tidak bisa dilakukan oleh satu pihak. ISS adalah tempat membangun jembatan komunikasi agar semua pihak bisa bergerak ke arah yang sama secara lebih efektif,” ujarnya.

Salah satu momen penting dalam ISS 2025 adalah peluncuran deklarasi “Solar Archipelago” yang berisi komitmen dari pemerintah daerah, pelaku bisnis, industri, dan komunitas untuk menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
“Ini adalah bentuk investasi swadaya yang dilakukan tanpa subsidi pemerintah,” jelasnya.
Ia mengingatkan, pada ISS 2022 lalu sempat dideklarasikan komitmen pemasangan PLTS sebesar 2,8 gigawatt dalam dua tahun. Namun, banyak pihak kesulitan merealisasikan target tersebut karena hambatan regulasi, khususnya terkait net metering.

Fabby mengungkapkan bahwa meski potensi energi surya Indonesia sangat besar—yakni sekitar 3.300 hingga 7.700 gigawatt menurut berbagai data—kapasitas terpasang saat ini baru mencapai sekitar 1 gigawatt, atau hanya 1% dari total kapasitas pembangkit nasional.
“Bandingkan dengan kapasitas terpasang PLTS dunia yang telah mencapai 2.000 gigawatt pada 2024. Angka kita masih sangat kecil,” ujarnya seraya menambahkan, target ke depan adalah menaikkan kapasitas PLTS menjadi 5–10 gigawatt per tahun untuk mengejar visi nasional.
Untuk pertama kalinya, IESR juga memberikan Indonesia Solar Award sebagai bentuk apresiasi terhadap individu, lembaga, dan badan usaha yang dinilai memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan energi surya di Indonesia.

“Kami menyebut komunitas ini sebagai solar warriors, para pejuang energi surya,” katanya.
Fabby menutup sambutannya dengan mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan ISS 2025 sebagai momentum kolaboratif dalam mewujudkan Indonesia yang mandiri secara energi dan berkelanjutan.
“Energi surya bukan hanya solusi lingkungan, tapi juga masa depan ekonomi kita. Kita bisa belajar dari negara-negara seperti Australia, India, hingga Vietnam yang berhasil mempercepat adopsi PLTS melalui kebijakan terintegrasi, inovasi bisnis, dan pelibatan masyarakat,” pungkasnya. (Shiddiq)