Beranda Asosiasi Pertambangan Evaluasi Implementasi B40 di Sektor Industri: Dirjen EBTKE Dorong Solusi Bersama, APNI...

Evaluasi Implementasi B40 di Sektor Industri: Dirjen EBTKE Dorong Solusi Bersama, APNI Minta Libatkan Asosiasi

956
0
Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi, membuka acara FGD Implementasi B40, Jakarta, Selasa (2/9/2025)
https://event.cnfeol.com/en/evenat/333

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menggelar pembahasan terkait implementasi program biodiesel 40% (B40) di sektor industri. Diskusi yang dipimpin oleh Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi, menekankan pentingnya mencari solusi bersama agar kebijakan B40 berjalan berkelanjutan.

“Saat ini kita sedang melakukan kajian bersama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengenai keberlangsungan program B40. Apakah akan terus berlanjut, atau perlu fleksibilitas menyesuaikan harga CPO, semua itu akan dipertimbangkan. Kita brainstorming dahulu, lalu akan mengerucutkan solusinya,” ujar Eniya dalam forum yang berlangsung di Jakarta, Selasa (2/9/2025).

https://www.fastmarkets.com/events/international-critical-minerals-and-metals-summit-indonesia/

Eniya menambahkan meskipun harus menghadiri agenda lain bersama Wakil Menteri ESDM, dirinya memastikan hasil masukan dari pemangku kepentingan akan dicatat untuk ditindaklanjuti.

“Tim sudah mencatat semuanya. Nanti di akhir kita simpulkan langkah apa yang paling tepat untuk semua pihak,” imbuhnya.

Dalam forum tersebut, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyampaikan evaluasi implementasi B40 sejak Januari 2025. Menurutnya, penerapan B40 menambah biaya produksi di sektor tambang nikel sebesar 3–5 persen, di tengah kondisi harga nikel yang anjlok dalam 10 tahun terakhir.

“Harga nikel saat ini turun drastis hingga sekitar 15 ribu per tona. Kondisi ini makin berat dengan adanya regulasi tambahan seperti Devisa Hasil Ekspor (DHE), aturan ekspor hingga isuGlobal Minimum Tax (GMT). Dampaknya sangat terasa di sektor pertambangan, terutama smelter,” kata Meidy.

Ia menekankan perlunya evaluasi bersama yang melibatkan asosiasi pengguna B40. “Mengacu pada Kepmen ESDM Nomor 341 Tahun 2024, seharusnya ada evaluasi dan pelaporan setiap tiga bulan. Kami berharap asosiasi dilibatkan agar bisa memberi masukan faktual tentang kondisi lapangan. Apalagi isu B50 tahun depan sudah mulai muncul, jadi perlu dikaji mendalam agar tidak membebani pelaku industri,” tegasnya.

Selain permasalahan biaya, Meidy juga menyoroti keterlambatan pasokan bahan bakar di wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara yang mengganggu operasional tambang.

“Jaminan supply sangat penting, jangan sampai keterlambatan menghambat produksi,” ujarnya.

Sementara itu, MC acara dari Ditjen EBTKE, Edi, menjelaskan bahwa laporan evaluasi B40 sejauh ini telah disampaikan kepada Menko Perekonomian sebagai Ketua Komite Pengarah.

“Pendanaan untuk program ini tetap berjalan, terutama terkait Public Service Obligation (PSO). Namun, ke depan evaluasi akan melibatkan lebih banyak pihak industri agar hasilnya lebih komprehensif,” kata Edi.

Forum evaluasi ini juga dihadiri berbagai perwakilan asosiasi dan industri, seperti Asosiasi Pertambangan Nikel Indonesia (APNI), Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia (Pertaabi), Indonesia Mining Association (IMA), National Shipowners’ Association (INSA), serta pelaku usaha pertambangan lainnya. Diskusi menghasilkan kesepakatan awal untuk memperkuat koordinasi, melibatkan asosiasi secara langsung, dan mempertimbangkan fleksibilitas kebijakan agar implementasi B40 sejalan dengan dinamika industri dan harga komoditas global. (Shiddiq)