

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM menggelar Focus Group Discussion (FGD) terkait evaluasi penggunaan B40 di sektor industri pada Selasa (2/9/2025) melalui virtual Zoom meeting.
Dalam forum tersebut, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menyampaikan evaluasi serta sejumlah masukan terkait implementasi program B40 yang telah berjalan sejak Januari 2025.

“Kami dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia mencoba mengevaluasi dalam sekitar delapan bulan terakhir ini sejak Januari, implementasi B40. Kalau mengacu kepada Kepmen ESDM Nomor 341 Tahun 2024, pada diktum kelima disebutkan adanya evaluasi dan pelaporan setiap tiga bulan. Alangkah baiknya asosiasi juga diajak dalam proses evaluasi karena kami para pelaku adalah pengguna langsung dari B40,” ujar Meidy.
Ia mengungkapkan bahwa kondisi industri nikel saat ini sedang menghadapi tekanan berat, terutama akibat penurunan harga yang mencapai titik terendah dalam 10 tahun terakhir.

“Harga nikel sempat menembus level US$ 15 ribu per metrik tona, dan sampai hari ini masih bertahan di angka tersebut. Jadi kondisi nikel sedang tidak baik-baik saja,” tegasnya.
Meidy juga menyoroti adanya kenaikan biaya produksi sebesar 3-5 persen di sektor pertambangan nikel sejak penerapan B40.
“Secara keseluruhan, di pertambangan biaya produksi naik sekitar 3-5 persen, tergantung wilayah dan kondisi lapangan. Ditambah lagi dengan regulasi lain seperti penetapan DHE, ekspor, global minimum tax hingga upah minimum yang cukup membebani,” jelasnya.

Selain itu, APNI mencatat banyaknya keterlambatan pasokan di beberapa wilayah pertambangan, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Kondisi tersebut menurut Meidy turut mengganggu operasional perusahaan.
“Jaminan supply ini penting karena keterlambatan pasokan berpengaruh langsung pada kelancaran produksi, bukan hanya di nikel, tetapi juga komoditas lain,” tambahnya.

APNI menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan B40 sebelum pemerintah melangkah ke implementasi B50 pada tahun depan.
“Kita perlu bersama-sama mengevaluasi implementasi B40, mulai dari biaya produksi, pendapatan perusahaan hingga dampaknya terhadap penerimaan negara. Kalau biaya meningkat sementara harga komoditas turun, margin perusahaan menyusut dan otomatis penerimaan pajak ikut berkurang,” ujar Meidy.

Ia menutup paparannya dengan harapan agar Kementerian ESDM, melalui Ditjen EBTKE bersama Direktorat Jenderal Minerba, dapat melibatkan asosiasi dalam proses evaluasi agar kebijakan berjalan efektif dan tidak mengganggu keberlangsungan produksi.
“Kami berharap evaluasi ini tidak hanya dari sisi supply, tetapi juga mempertimbangkan kondisi para user di lapangan. Karena saat ini kondisi kami memang sedang tidak baik-baik saja,” pungkas Meidy. (Shiddiq)
