

NIKEL.CO.ID, BOGOR – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menegaskan pentingnya generasi muda Sulawesi Tenggara (Sultra) untuk tidak melupakan daerah asal dan kekayaan sumber daya alamnya, khususnya nikel.
Hal ini ia sampaikan saat menjadi pemateri dalam acara Bina Akrab Latihan Kepemimpinan bertema “Persatuan Dalam Keberagaman” yang diikuti mahasiswa asal Sultra dari Fakultas Teknik Pertambangan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/8/2025).

“Saya ingin adik-adik yang berasal dari Sulawesi Tenggara tidak boleh melupakan daerah asalnya, apa sumber daya alam yang ada di sana. Sehingga pada saat kuliah, ilmu yang kalian dapat di bangku kuliah bisa diterapkan di daerah masing-masing. Yang penting pandai dan cerdas bagaimana kita mengelola sumber daya alam kita, khususnya nikel,” ujar Meidy.

Meidy menjelaskan bahwa APNI dibentuk oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2017 dengan tujuan memperjuangkan kepentingan penambang nikel. Salah satu perjuangan yang dilakukan adalah memastikan transaksi jual-beli nikel dari perusahaan tambang ke smelter berjalan sesuai standar harga dan mekanisme APNI, yakni Harga Mineral Acuan (HMA).

“Smelter itu adalah pabrik pengolahan nikel. Di Sulawesi Tenggara ada pabrik yang mengolah nikel pig iron (NPI) untuk stainless steel. Kawasan industri terbesar di dunia, juga berada di daerah kalian, termasuk di Pomalaa,” jelasnya.

Ia mencontohkan salah satu perusahaan besar di Pomalaa, PT Aneka Tambang Tbk. (Antam), yang telah beroperasi sejak 1967 dengan memproduksi feronikel. Saat ini, Antam sedang mengembangkan Indonesia Pomalaa Industrial Park (IPIP) sebagai bagian dari hilirisasi industri nikel.
Selain itu, Meidy mengungkapkan bahwa setiap perusahaan tambang wajib mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) ke Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM sebelum melakukan produksi. Per 2026, aturan RKAB akan berlaku tahunan, berbeda dengan sebelumnya yang berlaku setiap tiga tahun.

“Sekarang ada sekitar 415 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel dari total sekitar 4.800 IUP berbagai komoditas, mulai dari nikel, timah, emas, hingga bauksit. APNI memperjuangkan agar seluruh bijih nikel ke smelter mengikuti standar yang kami tetapkan,” terang Meidy.
Melalui forum ini, Meidy berharap mahasiswa Sultra dapat menjadi agen perubahan di sektor pertambangan dengan menguasai ilmu dan kembali berkontribusi untuk pembangunan daerah. (Shiddiq)