

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Hari kedua pelaksanaan Training to Miners (TTM) APNI 2025 yang digelar Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di Hotel Redtop, Pecenongan, Jakarta, Kamis (21/8/2025), menghadirkan pembahasan penting mengenai kebijakan perpajakan untuk sektor pertambangan, khususnya industri nikel.
Materi pertama disampaikan Direktur Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, Hesti Yoga Saksama, yang mengangkat tema “Fasilitas Pengurangan PPh Badan untuk Industri Pertambangan melalui PMK 130/2020.”

“Topik yang kita bahas hari ini adalah soal tax holiday, yaitu fasilitas pengurangan PPh Badan untuk industri pertambangan, terutama nikel. Ini penting karena sekarang ada paradigma baru dalam pemberian fasilitas ini,” ujar Hesti di hadapan para peserta.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130 Tahun 2020 memberikan insentif berupa pengurangan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) hingga 100 persen selama periode tertentu bagi industri pionir, termasuk sektor pertambangan dan pengolahan nikel.

Menurut Hesti, durasi fasilitas ini bisa mencapai 20 tahun tergantung nilai investasi dan jenis teknologi yang digunakan.
“Kalau investasinya besar, seperti pembangunan smelter nikel hingga Rp30 triliun, maka pengurangan PPh bisa sampai 100 persen selama 20 tahun. Ini tentu luar biasa,” jelasnya.
Tujuan dari pemberian fasilitas ini adalah untuk mendorong investasi jangka panjang dan meningkatkan daya saing industri nasional, terutama di sektor hilirisasi tambang yang menjadi fokus strategis pemerintah.

Namun, dia mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak akan berlaku selamanya, mengingat dinamika regulasi global, seperti penerapan Global Minimum Tax (GMT) Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).
“Tax holiday ini tidak bisa diberikan terus-menerus karena kita hidup di lingkungan internasional yang sudah mengatur standar pajak global. OECD sudah menggariskan pilar-pilar, termasuk GMT, yang akan segera diterapkan juga di Indonesia,” sambungnya.
Dia menjelaskan bahwa kini proses pengajuan fasilitas jauh lebih mudah dan berbasis kepercayaan (trust-based). Pemerintah memberi persetujuan terlebih dahulu, dan proses verifikasi dilakukan setelahnya.

“Paradigma sekarang adalah kasih dulu, baru verifikasi. Tidak lagi proses yang ketat di awal seperti sebelumnya. Bahkan, pengajuan cukup lewat sistem OSS (Online Single Submission), tanpa perlu datang langsung ke kantor pajak,” terangnya.
Setelah investor mendapat persetujuan, mereka wajib merealisasikan investasinya paling lambat dalam waktu satu tahun. Bila tidak ada kemajuan, fasilitas bisa dibatalkan.
“Jangan sampai fasilitas sudah dikasih tapi tidak pernah dibangun pabriknya. Maka, akan ada pemeriksaan lanjutan dari DJP (Direktorat Jenderal Pajak, red) untuk memastikan kesesuaian,” tambahnya.

Fasilitas ini bisa diperoleh oleh industri pionir dengan investasi minimal Rp100 miliar. Untuk investasi antara Rp100 miliar hingga Rp500 miliar, pengurangan PPh diberikan maksimal 50 persen selama lima tahun. Investor asing juga diperbolehkan mengajukan, dengan syarat membentuk badan usaha di Indonesia. Persetujuan akhir diberikan oleh Kepala BKPM atas nama Menteri Keuangan.
“Selama memenuhi kriteria KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, red) dan teknologinya sesuai, maka permohonan akan diproses. Tapi, kalau misalnya ingin bangun diskotik, pasti ditolak karena tidak masuk KBLI yang eligible,” ujar Hesti sambil berkelakar.
Materi yang disampaikan Hesti Yoga Saksama ini menjadi sorotan penting dalam hari kedua TTM APNI 2025 karena menyangkut insentif fiskal yang berpotensi besar mendongkrak investasi sektor pertambangan nikel nasional. Melalui penyederhanaan proses dan peningkatan kepercayaan, pemerintah berharap fasilitas ini bisa dimanfaatkan optimal oleh pelaku industri dalam mendorong hilirisasi dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. (Shiddiq)