Beranda Berita International APNI Soroti Tantangan Industri Nikel: Fokus ke Value, Bukan Sekadar Kuantitas

APNI Soroti Tantangan Industri Nikel: Fokus ke Value, Bukan Sekadar Kuantitas

521
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey, Acara Forum Laporan ESG 2025 Hotel Ayana, Jakarta, Kmais (7/8/2025)
https://www.apni.or.id/pendaftaranTTM

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyoroti tantangan besar yang tengah dihadapi industri nikel nasional, mulai dari tekanan regulasi hingga kebutuhan penguatan nilai tambah (value added) industri hilir.

Hal ini disampaikan langsung oleh Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, dalam acara Forum Laporan ESG 2025 pertama dengan tema “Membangun Kepercayaan, Memastikan Kepatuhan, Memungkinkan Simbiosis” yang diadakan oleh Kamar Dagang Tiongkok di Indonesia (CCCI).

“Kita sudah menguasai secara kuantitas proses produksi nikel secara global. Tapi saat ini bukan lagi bicara kuantitas, melainkan bagaimana menciptakan value,” ujar Meidy dalam acara tersebut di Ayana Midplaza, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (7/8/2025).

Menurut Meidy, value added tidak hanya berkontribusi pada peningkatan pendapatan negara, tetapi juga berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar tambang. Meski Produk Domestik Bruto (PDB) di daerah penghasil nikel meningkat, ia menyayangkan daya beli masyarakat justru mengalami penurunan.

“Ini yang menjadi perhatian kita bersama. Masyarakat harus ikut naik kelas, bukan hanya sektor industrinya saja,” tambahnya.

https://event.cnfeol.com/en/event/333

APNI juga tengah fokus menyelaraskan standar keberlanjutan lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG) agar sesuai dengan kondisi Indonesia, namun tetap diterima di pasar global. Meidy menyebutkan pihaknya telah menggabungkan 57 regulasi dari enam kementerian untuk membentuk parameter ESG yang relevan.

“Kita sudah mengkombinasi antara standar internasional seperti IRMA, Nikel Institute, dan RMI dengan regulasi Indonesia. Ini bukan hal mudah, terutama karena tantangan budaya dan tenaga kerja,” jelasnya.

Minggu depan, APNI akan bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Luar Negeri untuk menyusun standar ESG nasional yang bisa diterapkan tak hanya di sektor nikel, tetapi juga mineral lain—kecuali batu bara.

Meidy juga menyoroti tekanan bertubi-tubi dari regulasi baru yang berpotensi membebani industri nikel. Di antaranya adalah kenaikan royalti dari 10% menjadi 14-19% sejak Maret 2025, peningkatan jaminan reklamasi pascatambang, hingga penerapan global minimum tax pada 2026.

“Seluruh pemain industri nikel saat ini sedang pusing. Biaya produksi meningkat, termasuk karena transisi dari B30 ke B40 biodiesel dan rencana kenaikan upah minimum sebesar 6,5%,” katanya.

https://www.heliexpoasia.co.id/?utm_id=Hexia25-MNI&utm_source=media

APNI juga tengah bersiap menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk satu tahun ke depan, termasuk strategi menghadapi parameter ESG yang akan memengaruhi keberlanjutan operasional smelter.

“Beberapa smelter bisa saja menutup lini produksi karena tidak kuat menghadapi harga nikel yang terus menurun,” ungkapnya.

Meidy mengutip hasil diskusi dengan analis global yang memperkirakan harga nikel akan terus melemah hingga setidaknya 2028, jika Indonesia terus mempertahankan produksi tinggi tanpa penguatan hilirisasi.

“Produksi besar-besaran justru bisa memperparah anjloknya harga global. Kita harus segera fokus pada kualitas dan nilai tambah,” tegasnya.

Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, APNI berharap sinergi antara pelaku industri dan pemerintah semakin diperkuat agar Indonesia tidak hanya menjadi raksasa kuantitas, tetapi juga pemimpin dalam kualitas dan keberlanjutan industri nikel global. (Shiddiq)