

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, secara resmi membuka acara diskusi strategis bertajuk “Isu Terkini Industri Nikel Indonesia”, yang diselenggarakan oleh APNI bersama Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Dalam sambutannya, Meidy menyoroti berbagai tantangan yang tengah dihadapi industri nikel nasional, mulai dari penutupan sejumlah smelter hingga ketidakjelasan soal kebijakan ekspor. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pelaku industri hulu dan hilir agar sektor ini tetap berdaya saing di tengah tekanan global.
“Beberapa smelter saat ini sudah shutdown, bahkan ada yang menjerit karena tidak bisa melanjutkan operasional. Namun di sisi lain, masih ada yang tetap bertahan. Ini menunjukkan ketimpangan yang harus segera dicarikan solusinya,” ujar Meidy di hadapan peserta diskusi.

Ia juga mempertanyakan arah kebijakan pemerintah terkait ekspor nikel, yang sempat menjadi isu hangat beberapa waktu terakhir. Menurutnya, kebijakan ekspor yang tidak konsisten menciptakan kebingungan di kalangan pelaku usaha.
“Kemarin saya dengar ada yang bilang ekspor dibuka lagi. Tapi tidak jelas ekspor apa—apakah bijih nikel, konsentrat, atau produk olahan lainnya. Ini harus diperjelas. Saya tegaskan, sampai saat ini belum ada izin ekspor resmi untuk bijih nikel,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Meidy juga menyebut bahwa perkembangan industri nikel Indonesia memiliki dampak internasional, termasuk ke negara-negara seperti Brazil dan Australia. Oleh karena itu, ia menekankan perlunya kehati-hatian dalam mengambil kebijakan strategis.

“Dampaknya bukan hanya ke kita, tapi juga ke luar negeri, termasuk Brazil, dan Australia. Maka dari itu, kita harus berpikir lebih luas dan melibatkan semua pihak terkait,” ujarnya.
Diskusi ini juga dihadiri oleh sejumlah pengurus daerah APNI dan perwakilan industri. Meidy menyampaikan permohonan maaf karena Ketua Umum APNI tidak dapat hadir secara langsung dalam kegiatan tersebut.
Acara ini merupakan hasil kolaborasi antara APNI dan FINI, yang disebut Meidy sebagai upaya mempertemukan pelaku sektor pertambangan dengan industri hilir dalam satu forum komunikasi.

“Ini bukan semata-mata kerja APNI saja, tapi kerja sama APNI dan FINI. Penambang tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan sektor hilir. Begitu juga sebaliknya,” katanya.
Menutup sambutannya, Meidy menyerahkan waktu kepada Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arief Perdanakusumah untuk menyampaikan paparan lanjutan mengenai kondisi aktual industri pengolahan nikel.
Diskusi ini diharapkan dapat menjadi ruang terbuka bagi para pemangku kepentingan untuk menyampaikan aspirasi, menyusun langkah strategis, serta merumuskan solusi konkret atas berbagai persoalan yang tengah dihadapi industri nikel nasional. (Shiddiq)
