NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Indonesia terus berjuang melawan stigma negatif yang berkembang di pasar internasional terkait industri nikel, terutama mengenai dampak lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam.
Dalam diskusi CNBC Live yang disiarkan Selasa (8/7/2025), Chairman Indonesia Mining Institute, Prof. Irwandy Arif, memberikan penjelasan tentang tantangan dan upaya Indonesia dalam mengatasi isu tersebut.
Ia menjelaskan terkait upaya dan tantangan dalam mengelola nikel atas stigma negatif nikel di luar negeri. Baginya, persoalan utama yang dihadapi Indonesia adalah persepsi negatif tentang nikel yang sering muncul di luar negeri, khususnya terkait dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan.
Meskipun ada banyak kemajuan dalam hal kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam, industri nikel Indonesia masih terkendala oleh kampanye negatif yang berasal dari beberapa pihak internasional.
Prof. Irwandy menjelaskan, bahwa penurunan harga nikel menjadi salah satu faktor yang memperburuk persepsi tentang industri ini.
“Memang kalau kita lihat bahwa nikel ini harganya makin lama makin turun. Kemarin ada kenaikan sedikit di awal tahun 2025, tetapi dengan harga Rp15.000 sekarang ini, kalau turun-turun lagi, kita bisa lihat bahwa biaya produksi untuk Indonesia kurang lebih sekarang Rp11.000/ton,” ujar Ketua Pembina APNI ini.
Prof. Irwandy menambahkan, penyebab utama stigma tersebut adalah dinamika geopolitik yang mempengaruhi industri nikel di negara ini. Indonesia menghadapi tantangan karena dominasi pengusaha nikel dari China yang menguasai sekitar 75-85% pasar nikel. Persaingan harga dengan negara-negara lain, seperti Australia, juga mempengaruhi ketahanan industri ini.
“Jadi memang kalau kita lihat, isu-isu yang beredar ini sangat banyak. Pertama kalau kita lihat kenapa ada semacam suatu isu negatif terus, ini pertama kita bisa lihat dulu di kondisi geopolitik. Jadi ada, memang Indonesia sedang diterpa dengan kondisi internasional ini karena 75-85% itu pengusaha nikel kebanyakan dari China. Ini kemudian dapat saingan harga turun,” jelas Prof. Irwandy.
Namun, meskipun menghadapi tekanan ini, Indonesia masih bisa bertahan berkat biaya produksi yang jauh lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti Australia.
Hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk tetap mempertahankan posisi sebagai salah satu penghasil nikel terbesar di dunia.
Selain masalah harga dan geopolitik, Indonesia juga dihadapkan dengan isu cadangan nikel yang terbatas. Prof. Irwandy menjelaskan bahwa meskipun Indonesia memiliki cadangan yang cukup besar, industri ini membutuhkan perhatian lebih agar dapat bertahan dalam jangka panjang.
“Memang cadangan kita kalau dengan tingkat produksi segitu tinggal kurang lebih 10-12 tahun. Kecuali cadangan baru,” ujar Prof. Irwandi.
Namun, terkait cadangan nikel yang dapat dimanfaatkan untuk industri baterai. “Untuk ke arah besi baja, umurnya masih lebih dari itu, bisa 20-30 tahun. Jadi dibagi dua,” tambah Prof. Irwandy.
Dari segi pengelolaan, Prof. Irwandy menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah untuk mengelola cadangan ini dengan bijaksana. Indonesia perlu memastikan bahwa regulasi tidak berubah-ubah dan dapat mendukung ketahanan industri nikel.
“Kontrol pemerintah kan pemerintah berhak melalui RKAB dan sebagainya. Nah memang kalau kita lihat kondisi sekarang, dari kondisi geopolitik maupun dalam negeri, ini perlu perbaikan-perbaikan. Terutama perbaikan dari pemerintah bagaimana regulasinya jangan berubah-ubah, kebijakannya jangan berubah-ubah untuk mendorong ketahanan nikel di Indonesia,” jelasnya.
Upaya Indonesia dalam menjaga ketahanan industri nikel juga melibatkan peningkatan standar Environmental, Social, and Governance (ESG). Hal ini penting untuk memperbaiki citra nikel Indonesia di pasar internasional, sekaligus memastikan bahwa industri ini beroperasi secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Sebagai penutup, meskipun Indonesia menghadapi berbagai tantangan, baik dari aspek geopolitik, harga, maupun cadangan terbatas, negara ini tetap memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya nikel yang dimilikinya.
Dengan kebijakan yang stabil, pengelolaan yang lebih efisien, serta peningkatan standar ESG, Indonesia dapat memperbaiki citranya di pasar global dan menjaga keberlanjutan industri nikel di masa depan. (Lili Handayani)