NIKEL.CO.ID, JAKARTA– Harga komoditas nikel kembali menunjukkan tren pelemahan pada pekan ketiga Juni 2025. Berdasarkan rilis resmi Indonesia Nickel Price Index (INPI) dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Senin (23/6/2025), sejumlah produk turunan nikel mencatat penurunan harga, memperpanjang tren koreksi yang terjadi sejak awal bulan.
Data INPI memperlihatkan bahwa harga rata-rata beberapa produk seperti Nickel Pig Iron (NPI), High-Grade Nickel Matte, dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) kembali melemah dibandingkan minggu sebelumnya. Sementara itu, harga bijih nikel kadar rendah 1,2% tetap stabil.
Tercatat, INPI minggu ke tiga Juni 2025, nikel ore atau bijih nikel kadar 1,2% dengan metode pembayaran Cost, Insurance, and Freight (CIF) berada di rentang harga US$24 hingga US$26 per ton. Dengan harga rata rata US$25 per ton.
Dibandingkan, minggu sebelumnya 16 Juni 2025, terlihat konsisten, nickel ore kadar 1,2% dengan metode pembayaran Cost, Insurance, and Freight (CIF) berada di rentang harga US$24 hingga US$26 per ton. Dengan harga rata rata US$25 per ton.
Nickel ore dengan kadar 1,6% dengan sistem pembayaran CIF, berada di angka US$53.9 hingga US$56.9 per ton, harga rata rata US$55.4 per ton.
Nickel ore kadar 1,6% turun tipis dari US$55,8 menjadi US$55,4 per ton. Selisih harga sebanyak -US$0,4.
Sementara, Nickel Pig Iron (NPI) dengan skema free on board (FOB), berada di rentang harga US$112,3 per ton, harga rata rata US$112,3 per ton.
Produk NPI ini mengalami penurunan dari US$114,1 menjadi US$112,3 per ton dengan selisih harga sebanyak -US$1,8 per ton.
Produk lainnya, yaitu High-Grade Nickel Matte berbasis FOB, tercatat dengan rentang harga US$12,928 per ton dan harga rata rata tercatat US$12,928 per ton.
Produk High-Grade Nickel Matte ini mengalami penurunan dari US$13,145 menjadi US$12,928 per ton dengan selisih harga sebanyak -US$72 per ton.
Dan komoditas lainnya yaitu MHP FOB Price, tercatat dengan rentang harga US$12,425 per ton dan harga rata rata tercatat US$12,425 per ton.
Produk MHP ini mengalami penurunan dari US$12,615 menjadi US$12,425 per ton dengan selisih harga sebanyak -US$17 per ton.
Penurunan harga produk nikel pada minggu ketiga Juni 2025 mempertegas bahwa industri nikel nasional tengah berada dalam masa konsolidasi. Tekanan dari pasar global, ditambah dengan beban biaya produksi yang meningkat, menciptakan tantangan baru bagi pelaku industri di semua lini.
Langkah kolaboratif antara pemerintah, asosiasi, dan industri sangat dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem nikel Indonesia, sekaligus mengamankan posisinya sebagai produsen dan eksportir nikel terbesar dunia.
Adapun faktor penyebab penurunan harga diantaranya, tekanan pasar global dan oversupply. Pelemahan harga nikel saat ini dipengaruhi oleh kondisi pasar global yang masih dalam tekanan, khususnya akibat kelebihan pasokan (oversupply) dari produsen besar seperti Indonesia dan Tiongkok. Kenaikan produksi tidak diimbangi oleh peningkatan permintaan, terutama dari sektor stainless steel dan baterai kendaraan listrik.
Harga bahan baku produksi naik, margin tertekan.Lonjakan harga sulfur, yang menjadi bahan utama dalam produksi nikel melalui teknologi HPAL (High Pressure Acid Leach), menyebabkan peningkatan biaya produksi. Namun, harga jual seperti MHP dan nickel matte tidak ikut naik, mempersempit margin keuntungan pabrik smelter.
Hal lainnya yaitu ketidakpastian ekonomi global
Ketegangan geopolitik, tingginya suku bunga global, serta transisi energi yang berjalan lambat di Eropa dan Amerika Serikat juga menjadi faktor tekanan terhadap harga nikel.
Harga bijih nikel yang stabil pada kadar rendah (1,2%) memberi ruang napas, namun penurunan tipis pada kadar 1,6% bisa menurunkan permintaan dari smelter. Penambang tanpa integrasi ke hilir bisa terdampak signifikan jika tren ini berlanjut.
Hal tersebut merupakan sebuah dampak yang mungkin bisa saja timbul terhadap industri nikel nasional bagi para penambang.
Untuk smelter HPAL dan NPI, margin keuntungan terus menyempit, khususnya pada lini produk MHP yang kini makin terbebani oleh kenaikan biaya sulfur dan penurunan harga jual. Kondisi ini dapat memicu pengurangan produksi atau penjadwalan ulang pengiriman, bahkan potensi efisiensi tenaga kerja.
Dan bagi industri hilir, penurunan harga nikel dapat menjadi peluang bagi industri baterai dan manufaktur berbasis nikel, terutama untuk mengamankan pasokan dengan harga lebih rendah. Namun, ketidakstabilan harga juga berisiko mengganggu proyeksi investasi jangka panjang. (Lili Handayani)