NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Harga nikel global saat ini tengah menghadapi tekanan pasokan signifikan yang diperkirakan akan mendorong kenaikan harga hingga akhir tahun. Hal ini diungkapkan oleh CEO Canada Nickel Corp, Mark Selby, dalam wawancara dengan Crux Investor, menyusul partisipasinya dalam Indonesia Critical Mineral Conference (ICM) 2025 yang digelar pekan lalu.
Selama empat minggu terakhir, harga nikel global bertahan dalam kisaran US$15.000 hingga US$15.800 per ton, namun tren belakangan ini menunjukkan penurunan ke ujung bawah kisaran tersebut.
“Saya tidak melihat adanya penembusan signifikan ke bawah saat ini. Tapi kita memang sedang melihat tekanan pasokan yang nyata,” ungkap Mark Selby, dalam tayangan wawancara bersama Matthew Gordon dari Crux Investor, ditulis, Selasa (24/6/2025).
Menurutnya, tekanan ini terutama disebabkan oleh ketatnya pasokan bijih nikel, khususnya dari Indonesia, negara penghasil nikel terbesar di dunia. Selama konferensi di Indonesia, salah satu tema utama yang diangkat adalah bagaimana kendala pasokan mempengaruhi pasar, bahkan ketika harga bijih nikel menyentuh level tertinggi dalam dua tahun terakhir.
“Harga bijih nikel naik, sementara produk seperti NPI, baja tahan karat, dan nikel sulfat bergerak mendatar. Ini menunjukkan tekanan pasokan yang kuat di bagian tengah rantai nilai,” jelasnya.
Dia menambahkan,Pemerintah Indonesia dilaporkan menghentikan operasi di empat proyek tambang nikel, menyusul pelanggaran lingkungan dan konflik wilayah Raja Empat Ampat, proyek tersebut berada di lokasi terpencil, namun mengandung bijih bermutu tinggi, sehingga dampaknya terasa signifikan di tingkat pabrik pengolahan.
“Ini hanya beberapa persen dari total pasokan, tapi merupakan sebagian dari bijih berkadar tinggi terakhir. Proyek ini dihentikan karena melanggar aturan lingkungan dan berada di kawasan taman laut,” tambahnya.
Ia juga memaparkan, Indonesia memperketat kebijakan perizinan melalui Revisi RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya), yang secara tidak langsung menekan jumlah produksi yang bisa ditambang. Pemerintah juga menggunakan alasan pelanggaran lingkungan untuk menghentikan operasi ilegal dan mengelola pasokan secara lebih strategis.
Selain perusahaan tambang lokal di Indonesia, perusahaan asing seperti Tsingshan – yang dikenal sangat agresif – kini pun harus mengurangi pasokan karena profitabilitas menurun. Sementara itu, Tiongkok mulai menumpuk bijih untuk musim hujan, dan Filipina belum menunjukkan tanda-tanda mampu menutupi kekurangan pasokan.
Dengan kondisi pasokan yang ketat dan konsumsi global tetap tinggi, Selby memprediksi harga nikel akan mengalami lonjakan signifikan pada kuartal keempat 2025.
“Saya memperkirakan harga akan naik ke kisaran US$16.500 per ton pada akhir musim panas, dan bisa mencapai US$18.500–US$20.000 per ton pada akhir tahun, saat Filipina memasuki musim hujan,” tuturnya.
Meski belum memiliki organisasi resmi seperti OPEC, dinamika kontrol pasokan oleh Indonesia, Filipina, dan Tiongkok mulai membentuk semacam mekanisme informal yang berpengaruh besar terhadap harga global.
Harga nikel diperkirakan akan terus naik akibat gangguan pasokan dari Indonesia, kontrol perizinan yang lebih ketat, dan ketergantungan pasar pada bijih berkadar tinggi. Dengan situasi geopolitik dan lingkungan yang semakin kompleks, pelaku industri diharapkan bersiap menghadapi fluktuasi harga yang lebih tajam dalam waktu dekat. (Shiddiq)