Beranda Berita Nasional Harga Sulfur Naik, Industri Smelter Nikel Berteknologi HPAL di RI Tertekan

Harga Sulfur Naik, Industri Smelter Nikel Berteknologi HPAL di RI Tertekan

96
0
Ilustrasi smelter nikel. (freepik.com)
Ilustrasi smelter nikel. (freepik.com)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA– Harga sulfur melonjak tiga kali lipat dalam setahun terakhir, menekan industri smelter nikel HPAL di Indonesia yang tengah menghadapi kelebihan pasokan dan harga nikel global yang stagnan.

Industri smelter nikel berbasis teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) di Indonesia, yang selama ini dibanggakan sebagai pionir efisiensi dan rendah emisi dalam pengolahan nikel, kini berada di ujung tanduk.

Pemicunya adalah sulfur atau bahan kimia utama dalam proses HPAL yang harganya tengah melonjak lebih dari tiga kali lipat dalam setahun terakhir. 

Dari semula sekitar US$86/ton, kini sulfur granular jenis CFR ke Indonesia menyentuh US$297/ton. Kenaikan ini tak hanya mengguncang rantai pasok, tetapi juga menekan margin keuntungan smelter yang sebelumnya dikenal sebagai pengolah nikel berbiaya rendah.

“Ketika harga sulfur naik tiga kali lipat, biaya produksi nikel juga meningkat tajam. Ini bisa membuat smelter merugi, terutama jika harga jual nikel sedang stagnan,” ujar Djoko Widajatno, Anggota Dewan Penasihat APNI, dikutip melalui laman bloomberg, Senin (23/6/2025).

Djoko Widajatno menerangkan, di tengah tren harga nikel global yang masih datar berada di kisaran US$12.000–US$14.000/ton kenaikan tajam biaya produksi menciptakan risiko ganda bagi smelter HPAL.

Berdasarkan simulasi, lanjutnya, lonjakan harga sulfur menaikkan biaya asam sulfat, komponen utama HPAL, dari US$2.000/ton nikel menjadi US$6.000/ton, naik 200%.

Untuk itu, ungkapnya, total biaya produksi nikel per ton di pabrik HPAL kini diperkirakan mencapai US$11.000, naik signifikan dari rata-rata sebelumnya US$7.000–US$8.000.

Berikut komponen biaya produksi smelter HPAL:

Komponen ProduksiSebelum KenaikanSesudah Kenaikan
Asam Sulfat (dari sulfur)US$2.000US$6.000
Laterit (raw ore)US$1.500US$1.500
Energi & UtilitasUS$1.200US$1.200
Tenaga Kerja & OperasionalUS$1.000US$1.000
Pemeliharaan & UmumUS$800US$800
Biaya LainnyaUS$500US$500
Total Produksi/Ton NiUS$7.000US$11.000

Diketahui, HPAL selama ini digadang-gadang sebagai teknologi masa depan pengolahan nikel laterit kadar rendah (limonit), terutama karena efisiensi bahan baku dan minim emisi dibandingkan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).

Smelter jenis ini tidak menggunakan tanur listrik, melainkan asam sulfat bertekanan tinggi untuk mengekstraksi logam dari bijih.

Namun ada satu kelemahan krusial yaitu ketergantungan ekstrem pada sulfur. Dibutuhkan sekitar 12 ton sulfur untuk menghasilkan 1 ton mixed hydroxide precipitate (MHP) atau produk nikel setengah jadi yang menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik (EV).

“Kita mungkin akan melihat titik kritis akhir tahun ini, di mana margin HPAL bisa menyentuh level sangat tipis,” kata analis senior di SMM Information & Technology Co., Luigi Fan.

Fan menjelaskan, Indonesia saat ini menjadi pusat global industri HPAL, dengan sejumlah nama besar seperti PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) atau Harita Nickel, Lygend Resources & Technology (China) – Pulau Obi, PT QMB New Energy Materials & PT Huayue Nickel Cobalt – Weda Bay, Nickel Industries Ltd. (didukung Tsingshan Holding) – Weda Bay, PT Halmahera Persada Lygend, PT Harum Energy Tbk (HRUM) – proyek baru di Teluk Weda.
“Mereka menjadi penyumbang permintaan sulfur terbesar di Asia Tenggara. Bahkan, Indonesia kini masuk jajaran importir utama sulfur dunia, bersaing dengan sektor pupuk dari Maroko dan India,” terangnya.

Menurut analis utama logam dasar di CRU Group, Angela Durrant, produksi MHP Indonesia diprediksi akan melonjak menjadi 619.000 ton pada 2026, naik lebih dari sepertiga dari level 2024.

“Meski biaya melonjak, aset HPAL Indonesia masih berada di kuartil pertama kurva biaya global. Kami tidak melihat harga sulfur tinggi akan menghentikan ekspansi,” ujar Angela.

Namun, lanjutnya, ekspansi ini bisa menjadi pedang bermata dua. Pasokan nikel MHP yang meningkat dalam kondisi harga global melemah justru memperparah persaingan dan oversupply, menggerus margin lebih lanjut.

Ia mengatakan, lonjakan harga sulfur tidak datang tiba-tiba. Sejak pertengahan 2024, permintaan global meningkat tajam, terutama dari Maroko (pupuk fosfat) dan Indonesia (HPAL).

Dirinya menjelaskan, produksi sulfur dunia dikendalikan oleh negara dan perusahaan minyak besar seperti Saudi Aramco (Arab Saudi), Petro-Canada & Suncor (Kanada), QatarEnergy, Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC).

“Sulfur berasal dari pemrosesan gas alam dan minyak mentah. Ketika pasokan dari Timur Tengah terganggu oleh ketegangan geopolitik atau pembatasan ekspor, harga melonjak cepat. Indonesia sebagai importir merasakan dampaknya paling besar,” katanya.

Sementara itu, pemerintah pusat telah menyampaikan rencana sanksi lingkungan kepada sejumlah smelter HPAL di Morowali, di tengah sorotan terhadap efek lingkungan dari industri pengolahan logam berat.

Kebijakan ini, meski didukung dari sisi tata kelola, bisa menjadi tekanan tambahan terhadap industri yang kini sudah terpukul dari sisi biaya produksi. (Lili Handayani)