NIKEL.CO.ID, JAKARTA– Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) kembali merilis pembaruan Indonesia Nickel Price Index (INPI) Senin, (16/6/2025).
Berdasarkan data minggu kedua Juni ini, harga bijih nikel atau nickel ore mencatatkan kenaikan tipis, sementara sejumlah produk turunan nikel mengalami penurunan harga.
Harga bijih nikel kadar rendah (1,2%) berdasarkan skema cost, insurance, and freight (CIF) berada di rentang US$24 hingga US$26 per ton, dengan rata-rata US$25 per ton.
Sementara itu, bijih nikel kadar tinggi (1,6%) tercatat di kisaran US$54,5 hingga US$57,35 per ton, dengan harga rata-rata US$55,8 per ton.
Kenaikan ini dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan dari smelter dalam negeri yang tengah meningkatkan kapasitas produksi menjelang semester kedua 2025.
Berbanding terbalik dengan bijih nikel, harga nickel pig iron (NPI) justru mengalami tekanan. Harga NPI berdasarkan skema free on board (FOB) tercatat turun sebesar US$1,9 per ton, dari minggu sebelumnya menjadi rata-rata US$114,1 per ton.
Penurunan ini disinyalir akibat pelemahan permintaan ekspor dari Tiongkok serta penyesuaian produksi dari pabrik-pabrik NPI di Indonesia.
Komoditas high-grade nickel matte juga mengalami penurunan cukup signifikan. Harga rata-rata berada di level US$13.145 per ton, turun sebesar US$45 per ton dari pekan lalu. Sementara itu, mixed hydroxide precipitate (MHP) yang juga merupakan produk hilirisasi nikel, turun sebesar US$24 per ton menjadi rata-rata US$12.615 per ton.
Adapun faktor penyebab kenaikan dan penurunan harga, kenaikan harga bijih nikel terutama dipengaruhi beberapa faktor yaitu peningkatan permintaan domestik, khususnya dari industri smelter dan pemrosesan nikel kelas dua.
Sentimen pasar terhadap percepatan proyek hilirisasi, termasuk produksi baterai kendaraan listrik (EV). Gangguan cuaca dan logistik di beberapa lokasi tambang yang menyebabkan keterbatasan pasokan sementara.
Sementara itu, penurunan harga NPI, nickel matte, dan MHP lebih banyak disebabkan oleh pelemahan harga nikel global di bursa LME, yang berdampak langsung pada harga jual produk hilir.Kelebihan pasokan di pasar ekspor, terutama dari Indonesia dan Filipina yang kini menjadi pemain dominan di segmen nikel kelas dua.
Penurunan permintaan dari Tiongkok dan Korea Selatan, yang selama ini menjadi pasar utama produk turunan nikel dari Indonesia.
Secara umum, pasar nikel masih menunjukkan dinamika yang kompleks di tengah ketidakpastian global, transisi energi hijau, dan tantangan geopolitik. Para pelaku industri dan investor diharapkan untuk terus memantau indikator harga dari INPI sebagai acuan penting dalam pengambilan keputusan bisnis dan investasi. (Lili Handayani)