
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Direktur Jenderal Dirjen Mineral dan Batu Bara Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno mengungkapkan, akan mempelajari dampak rencana kebijakan larangan ekspor bijih nikel Filipina ke Indonesia.
Hal ini dia sampaikan saat ditemui wartawan mengenai dampak rencana kebijakan pemerintah Filipina yang akan memberlakukan kebijakan larangan ekspor bijih nikelnya pada bulan Juni 2025 nanti.
“Kalau dampak, kita memang ada import untuk yang nikel dari Filipina. Tapi kalau misalnya nanti Filipina melarang ekspornya betul, ya kita exercise (pelajari)-lah seperti apa pasnya,” ungkap Tri menjawab pertanyaan wartawan usai solat Jumat di Kantor Sekretariat Kementerian ESDM, Jumat (7/2/2025).
Menurutnya, terkait kebijakan larangan ekspor bijih nikel oleh Filipina akan menaikkan harga nikel atau tidaknya itu ada banyak faktor yang menentukannya.
“Itu akan balik lagi tadi, tidak hanya supply dan demand tetapi kondisi-kondisi lain juga bisa mempengaruhi,” ujarnya.
Impor bijih nikel Indonesia dari Filipina disebabkan kurangnya pasokan bijih nikel untuk kebutuhan smelter-smelter dalam negeri. Padahal Indonesia merupakan negara penghasil nikel terbesar di dunia.
Mengutip dari kontan, 3 Oktober 2024, per Juli 2024 nilai impor bijih nikel dari Filipina melonjak 648,18% dibandingkan Maret tahun 2024 ini. Nikel diserap ke Weda Bay Industrial Park lewat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yaitu smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang memproduksi bahan baku stainless steel.
Kemudian, PT Kalimantan Ferro Industry (KFI), pengelola smelter nikel di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur juga mengimpor bijih nikel dari negara lain, khususnya dari Filipina mencapai 51.000 ton.
Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo mengatakan, masalah lonjakan masuknya bijih nikel ke Indonesia menjadi sangat wajar dan rasional. Sebab, kata Singgih, harus diakui flow ouput produksi tambang nikel (hulu) dan kebutuhan smelter akan bijih nikel (hilir) menjadi saling sangat terkait kuat.
Menurutnya, produksi bijih nikel, bagaimana pun akan mengikuti Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang telah dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Namun juga harus diakui di tahun ini, terjadi keterlambatan RKAB, sehingga mempengaruhi jumlah produksi.
“Dari sisi RKAB bijih nikel yang mencapai 250 juta ton, pada dasarnya cukup aman untuk memenuhi kebutuhan smelter, yang saat ini sekitar sebesar 200 juta ton,” kata Singgih mengutip laman IMI, (4/10/2024).
Dia juga menyampaikan keterlambatan RKAB dan juga banyak faktor di sisi tambang, volume produksi menjadi di bawah kebutuhan smelter. Bersamaan masuk bijih nikel dari Filipina yang cukup besar dan dengan harga yang kompetitif.
Ia memberikan usulan, sebagai solusinya jelas dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) harus mengevaluasi RKAB untuk meletakkan peningkatan produksi menjadi poin utama.
“Pengajuan kenaikan produksi dari penambang, tentunya dengan pertimbangan hal lainnya seperti aspek teknik dan lingkungan, harus menjadi prioritas dalam menyelesaikan masalah masuknya bijih nikel dari Filipina,” pungkasnya. (Shiddiq)