
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan, kalau Indonesia mau menjadi negara maju maka tidak ada cara lain selain dengan hilirisasi karena cara lama tidak efektif dan tidak membawa kemajuan besar.
“Kalau negara kita mau menjadi negara maju dari negara berkembang menjadi negara maju maka tidak ada cara lain selain salah satu instrumen yang harus dipakai adalah hilirisasi. Kita tidak bisa lagi memakai model lama, pola lama ini, meskipun memang bisa hidup tapi tidak membuat kemajuan besar,” kata Bahlil dalam sambutan acara BNI Investor Daily Summit 2024 pada hari kedua, JCC Senayan, Jakarta, Rabu (9/10/2024).
Dia menjelaskan, pentingnya hilirisasi dalam membangun frame kebijakan investasi salah satunya adalah komoditas nikel. Pada Oktober 2019 Kementerian Investasi dan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) melakukan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel.
“Kita membuat kebijakan penghentian ekspor bijih nikel,” jelas mantan Menteri Investasi/BKPM tersebut.
Menurutnya, pada awal pemberlakuan kebijakan larangan ekspor bijih nikel itu banyak para penambang nikel yang melakukan demonstrasi untuk memprotesnya. Namun setelah dilakukan komunikasi dan dialog antara pemerintah dan penambang, akhrinya mereka memahami dan menerimanya bahwa kebijakan itu untuk kemajuan bangsa dan negara.
Pada 1 Januari 2020 pemerintah resmi mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel, dia menambahkan, sambil melakukan pertemuan antara pemerintah dengan para pengusaha pabrik pengolahan atau smelter nikel, salah satunya dengan Direktur IMIP, Alexander Barus.
“Pertemuan itu bertujuan agar seluruh bijih nikel yang tidak dapat diekspor harus dibeli oleh smelter dalam negeri dengan harga yang wajar agar tidak terjadi kerugian bagi para penambang,” ujarnya.
Bahlil mengungkapkan, perbedaan antara sebelum dilakukan larangan ekspor bijih nikel pada 2017-2018 pendapatan per tahun sekitar Rp17 triliun, dan ketika sudah dilakukan pelarangan ekspor bijih nikel maka pendapatan per tahun negara mencapai sekitar Rp425 triliun tahun 2022-2023.
Lebih lanjut, dia menuturkan, sekarang ini nikel tidak hanya cukup di hilirisasi menjadi barang setengah jadi tapi harus dibuat sampai dengan hilirisasi mencapai 70%-80% dengan mengembangkan baterai dan kendaraan listrik.
“Karena di sisi lain, negara Eropa pada tahun 2030, mereka telah menggunakan mobil listrik sebesar 70%. Ditambah, Indonesia memiliki cadangan nikel sebesar 25% dari cadangan nikel dunia,” tuturnya.
Ia juga memaparkan bahwa bahan baku baterai itu hanya ada empat, yaitu nikel, mangan, kobalt dan lithium. Hanya lithium yang Indonesia tidak miliki, selebihnya semua ada di Indonesia maka kedepannya Indonesia berkeinginan menjadi negara produsen baterai mobil terbesar di dunia.
“Kini, mimpi itu menjadi nyata sejak berdirinya pabrik baterai dan mobil listrik Hyundai di Indonesia tahun 2024 ini. Intinya, hilirisasi inilah kata kunci untuk kita mendorong agar terjadi penambahan nilai tambah di sana,” pungkasnya. (Shiddiq)