NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengungkapkan, pemerintah akan menyediakan pasokan listrik berbahan bakar gas yang lebih bersih dari batu bara untuk pabrik smelter nikel di Sulawesi dengan menelan biaya sebesar US$14 miliar hingga tahun 2030.
“Kebutuhan untuk pabrik pemurnian (smelter) saat ini mencapai 20 gigawatt (GW) dan dipenuhi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Namun, kita akan mengupayakan penyediaan energi bersih untuk ini dan juga sebagai bagian dari transisi energi,” ungkap Arifin kepada rekan media, di Gedung Ibnu Sutowo Ditjen Migas, Jakarta, baru-baru ini.
Menurutnya, untuk peralihan PLTU ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) tersebut dibutuhkan investasi yang besar yang diperlukan untuk pemabngunan pembangkit sebesar US$10,7 miliar, transmisi sebesar US$2,3 miliar, dan gardu induk sebesar US$1 miliar. Kebutuhan listrik yang paling besar di Sulawesi dipergunakan untuk smelter hingga tahun 2030 mencapai 11.139 megawatt (MW).
“Smelter merupakan industri yang membutuhkan energi besar. Bahkan di Sulawesi sendiri, suatu area smelter yang hanya 4.500 hektare membutuhkan energi listrik hampir mencapai 7 GW. Kita akan menurunkan persentase pasokan listrik untuk smelter ini. Yang sebelumnya menggunakan batubara kita alihkan dengan menggunakan gas,”ujarnya.
Dia juga menerangkan, sumber gas akan didapat dari dua lokasi,pertama dari blok Donggi Senoro setelah kontrak gas bumi berakhir di tahun 2027 dengan kapasitas 337 MMSCF untuk pasokan PLTGU Welhead baru yang berkapasitas 1.800MW. Kemudian yang kedua, dari Lapangan ENI Muara Bakau, Selat Makassar (antara Kalimantan – Sulawesi) dari gas pipa sebesar 500 MMSCFD untuk memasok PLTGU baru di Palu dengan kapasitas 2.650MW.
Selanjutnya, listrik dari kedua PLTGU tersebut kemudian dapat disalurkan melalui transmisi 500 kilo Volt (kV) untuk menyuplai smelter klaster Huadi di Sulawesi Selatan, Pomala-Ceria (Poci) dan Konawe-Morowali (Kemo) di Sulawesi Tenggara.
“Jadi, rencana kita gas yang dari Kalimantan – Selat Makassar ini, mudah-mudahan itu bisa kita tarik pipanya ke Palu. Di Sulawesi ini kita bikin pembangkit gas, baru tarik transmisi dan di sini juga ada LNG. Berakhirnya kontrak gas bumi Donggi Senoro tahun 2027 yang selama ini LNG-nya di-export terus keluar negeri. Kita minta nanti kuota gas untuk domestik, dari sini kita tarik lagi pipa gasnya dan nanti kita bangun pembangkit gas. Kemudian kita tarik jaringan lagi sehingga bisa mendukung carbon reduction program di industri-industri smelter ,” terangnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa listrik dari kedua PLTGU itu nantinya akan disalurkan melalui jaringan transmisi sebesar 500 kV untuk memasok suplai ke pabrik-pabrik smelter klaster Huadi di Sulawesi Selatan, yakni Pomala dan Ceria (Poci) dan Konawe dan Morowali (Kemo) di Sulawesi Tenggara.
“Jika harga gas untuk kedua PLTGU mengikuti Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sekitar 6 US$/MMBTU dan toll fee transmisi 3,88 cUS$/kWh dengan harga listrik sekitar 11 cUS$/kWh maka itu cukup kompetitif,” pungkas Arifin. (Shiddiq)