𝗡𝗜𝗞𝗘𝗟.𝗖𝗢.𝗜𝗗, 𝗝𝗔𝗞𝗔𝗥𝗧𝗔 – 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳 𝘧𝘰𝘳 𝘙𝘦𝘴𝘦𝘢𝘳𝘤𝘩 𝘰𝘯 𝘌𝘯𝘦𝘳𝘨𝘺 𝘢𝘯𝘥 𝘊𝘭𝘦𝘢𝘯 𝘈𝘪𝘳 (Crea) dan 𝘊𝘦𝘯𝘵𝘦𝘳 𝘰𝘧 𝘌𝘤𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪𝘤 𝘢𝘯𝘥 𝘓𝘢𝘸 𝘚𝘵𝘶𝘥𝘪𝘦𝘴 (Celios) menyampaikan laporan hasil studi terbaru di bulan Februari 2024 yang berjudul “Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Nikel” dari tiga provinsi utama operasi peleburan nikel, yaitu: Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Ini merupakan kajian mendalam mengenai dampak industri nikel terhadap ekonomi, ekologi, dan kesehatan masyarakat di Indonesia.
Menurut laporan hasil studi tersebut, mengatakan, keuntungan ekonomi bagi negara ini berkurang dalam delapan tahun dan rusak akibat dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, mata pencaharian, dan ekologi.
Di sisi lain, permintaan nikel global meningkat untuk pemenuhan bahan baku baterai kendaraan listrik untuk industri kendaraan listrik. Pada awal Januari 2020, Presiden Joko Widodo melarang ekspor bijih nikel dan hanya membolehkan komoditas nikel yang sudah diolah setengah jadi (intermediate). Hilirisasi nikel pun sempat mencuat menjadi isu nasional di tengah tahun politik.
Larangan ekspor bijih nikel telah membawa lonjakan besar dari sebelumnya hanya US$4 miliar pada 2017 menjadi sebesar US$34 miliar atau meningkat sebesar 750%. Namun hal ini dinilai, klaim dampak positif dari hilirisasi nikel seringkali mengabaikan efek terhadap risiko lingkungan hidup maupun kesehatan masyarakat.
Dari hasil studi yang dilakukan Crea dan Celios mengenai dampak kesehatan dan ekonomi dari upaya pengolahan nikel, diharapkan agar menilik ulang keuntungan ekonomi yang diharapkan.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan, laju pertumbuhan industri nikel yang berpusat di tiga wilayah itu akan menghasilkan US$4 miliar (Rp62,8 triliun) pada tahun kelima pembangunannya.
Namun setelah itu, dampak negatif industri ini terhadap lingkungan dan produktivitas pertanian maupun perikanan akan mulai mempengaruhi total output perekonomian, dan menurun secara drastis setelah delapan tahun.
“Meskipun diklaim terdapat masa depan yang menjanjikan dan peluang yang sangat besar bagi negara yang dapat diperoleh industri nikel, dampaknya terhadap masyarakat sekitar, terutama kesehatan dan sumber mata pencaharian, menempatkan mereka pada risiko yang besar,” kata Bhima dalam rangkuman hasil laporan tersebut.
Menurutnya, degradasi lingkungan merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh operasional pengolahan nikel. Kualitas udara dan tanah menyebabkan kemerosotan dalam jumlah nilai mata pencaharian pada nelayan dan petani di sekitar kawasan industri.
“Diproyeksikan dalam laporan bahwa dalam 15 tahun ke depan, para petani dan nelayan akan mengalami kerugian hingga Rp3,64 triliun (US$234,84 juta),” ujarnya.
Selain itu, dia menegaskan, mitos tentang proyek industri nikel mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui penyerapan tenaga kerja dan kenaikan upah juga terbantahkan dalam studi ini.
Peningkatan penyerapan tenaga kerja, hanya akan terjadi pada tahun ke-3 pada tahap konstruksi pabrik, kemudian cenderung menurun hingga tahun ke-15.
“Seiring dampak negatif dari kehadiran industri nikel mempengaruhi serapan kerja sektor usaha lainnya khususnya pertanian dan perikanan,” tegasnya.
Analis CREA, Katherine Hasan, menambahkan, hal ini tidak terlepas dari keberadaan operasional Pembangkit Listrik Batu Bara Captive, yang keberadaannya melekat pada kawasan industri, khususnya pengolahan nikel.
Pengolahan nikel kadar rendah memerlukan banyak energi dan Indonesia bergantung pada tenaga batu bara. Dari 10,8 GW kapasitas operasi seluruh pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, lebih dari 75% (8,2 GW) dikhususkan untuk pengolahan logam. Dari jumlah tersebut, nikel saja mengkonsumsi tiga listriknya atau sekitar 6,1 GW.
“Ketergantungan industri pada pembangkit listrik tenaga batu bara akan menyebabkan setidaknya 3.800 kematian setiap tahunnya dalam dua tahun ke depan, dan hampir 5.000 kematian pada akhir dekade ini,” tambah Katherine.
“Sehingga menyebabkan beban ekonomi sebesar US$2,63 miliar dan US$3,42 miliar per tahun pada periode yang sama,” sambungnya.
Sementara, Analis Utama di CREA, Lauri Myllyvirta, mengatakan, investor terbesar dalam pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, dengan lebih dari 70% kepemilikan dimiliki oleh 14 perusahaan pengolahan dan pertambangan logam swasta dan milik negara.
“Investasi berkelanjutan Tiongkok pada pembangkit listrik tenaga batu bara telah memainkan peran penting dalam meningkatkan target pengurangan emisi Indonesia,” kata Lauri.
Dia menuturkan, meskipun Tiongkok berjanji pada tahun 2021 untuk berhenti membangun pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri, investasi pada pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia terus berlanjut.
“Dan semua pembangkit listrik tenaga batu bara yang didanai oleh investasi Tiongkok berbasis di kawasan industri pembangkit listrik tenaga batu bara dan pertambangan di Indonesia,” tuturnya.
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti dalam laporan realisasi 2023 mengatakan, program hilirisasi nikel di Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan Papua meraih pertumbuhan ekonomi tertinggi diantara provinsi lainnya.
Dari data BPS, pertumbuhan ekonomi di Pulau Sulawesi menembus 6,37% secara anual pada 2023, sedangkan di Maluku dan Papua 6,94%.
“Pertumbuhan ekonomi 2023 tertinggi ada di Maluku Utara yaitu 20,49%, sedangkan di Sulawesi Tengah 11,91%” kata Amalia.
Dia menuturkan, pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah didorong industri pengolahan, pertambanagan, dan penggalian.
Industri yang memang cukup besar di kedua provinsi tersebut berasal dari industri olahan barang tambang terutama feronikel.
“Jadi, jika ditarik kesimpulan, industrialisasi atau program hilirisasi nikel memang memberikan dampak pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di sana,” tuturnya. (𝙎𝙝𝙞𝙙𝙙𝙞𝙦)