Beranda Berita Nasional Nilai Harga Nikel Pengaruhi PNBP

Nilai Harga Nikel Pengaruhi PNBP

2985
0

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Ketum Perhapi), Rizal Kasli, mengatakan, pemerintah harus melihat bahwa pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sangat bergantung pada nilai harga nikel.

Hal ini dilatarbelakangi oleh terjadinya oversupply produksi nikel di dalam negeri yang menyebabkan anjloknya harga nikel di pasar global dan menipisnya cadangan nikel di Indonesia, sehingga pemerintah perlu melakukan langkah strategis untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satunya adalah moratorium untuk menyetop pembangunan pabrik pengolahan atau smelter baru.

“Pajak penghasilan, misalnya keuntungan itu ditentukan oleh pajak (revenue) yang ditentukan juga oleh harga nikel. Kemudian PNBP, royalti misalnya itu dihitung juga dari harga nikel, sehingga apabila produksi besar harga turun maka pendapatan negara juga akan turun. Itu yang harus menjadi pertimbangan pemerintah,” kata Rizal dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia baru-baru ini.

Menurutnya, pemerintah harus cermat dalam melakukan perhitungan kebijakan investasi, pertambangan, perdagangan, harga nikel dalam melakukan moratorium tambang nikel. Kalau harga nikel naik pemerintah mendapatkan laba yang tinggi, sebaliknya kalau harga nikel turun, pendapatan negara pun akan turun.

“Artinya, ini harus dihitung secara teliti untung ruginya yang mana kita tingkatkan produksi tapi pajak juga, karena harga turun akan menurun pendapatan negara atau dengan harga bagus pendapatan negara kita akan lebih tinggi,” ujarnya.

Dia juga menjelaskan, kebijakan pemerintah untuk mengatasi turunnya harga nikel dan oversupply dengan melakukan moratorium dan menahan perusahaan-perusahaan tambang nikel untuk mencari pendanaan dalam membangun smelter tidak akan memberikan efek negatif. Secara rasional untuk membangun sebuah smelter maka dibutuhkan biaya pembangunan yang sangat besar, ditambah dengan mahalnya biaya operasional sehingga untuk beroperasi pun perusahaan tidak akan mendapatkan keuntungan.

“Ini yang perlu dipertimbangkan, contohya untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di greenfield (kawasan hijau) tetapi kapasitas produksi smelternya kecil tentu saja biaya operasi dia akan lebih tinggi dibandingkan dengan yang lebih besar, ini perlu menjadi pertimbangan,” jelasnya.

Kemudian, ia menuturkan, rencana dan permintaan kebutuhan nikel (demand) di tahun 2024 dari kondisi permintaan China yang masih lemah dibarengi ekonomi China yang juga masih lemah akibat pandemi Covid-19 yang belum pulih. Indonesia tidak bisa melawan pasar global karena hal ini dipengaruhi oleh supply dan demand.

“Kalau memang ada seperti negara-negara tertentu yang belum kembali pulih ekonominya, tentu permintaan terhadap logam terutama nikel itu akan menurun. Sehingga yang bisa kita lakukan adalah melakukan efisiensi di perusahaan-perusahaan tambang kita maupun di pabrik-pabrik smelter yang sudah terbangun,” tuturnya.

Rizal melanjutkan, pemerintah perlu juga mengambil langkah-langkah atau kebijakan, salah satunya adalah dengan melakukan moratorium pembangunan smelter. Apakah ini ditunda sementara sehingga tidak berlanjut kepada oversupply, karena sekarang ini di Indonesia ada perusahaan-perusahaan yang sedang tahap penyelesaian kontruksi pembangunan smelternya.

Kalau ini terjadi dan selesai dibangun, dikhawatirkan akan menambah kapasitas suplly nickel hampir 12 juta ton dan ini pasti akan membanjiri pasar global lagi.

“Kemudian ada juga beberapa perusahaan yang sedang dalam perencanaan. Dalam perencanaan ini bisa dia sedang dalam melakukan visibilitas atau pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) ataupun dalam hal melakukan financial closing untuk mencari pendanaan mungkin ini bisa dipertimbangkan untuk di buat sementara sehingga kita tidak membanjiri pasar global dengan nikel dari kita sekarang, kita sudah 57%,” lanjutnya.

Dia juga membeberkan, saat ini di Indonesia sedang terjadi oversupply dan ini bisa dilihat dari data-data produksi bahwa Indonesia sendiri sudah memproduksi sekitar 2 juta ton nikel atau sebesar  1,97 juta ton.

“Kemudian kebutuhan nikel dunia itu terbatas, apalagi ditambah dengan penurunan permintaan dari China yang tidak sesuai ekspketasi pada awal. Sehingga terjadi oversupply sekitar 240 ribu ton nikel dan inilah yang menyebabkan berpengaruh kepada harga di pasar global,” bebernya. (Shiddiq).